Senin, 16 Maret 2015

MENAKLUKAN MONSTER


MENAKLUKAN MONSTER

memasuki fase akhir perjalanan di planet yang bernama Kampus biru,  saya harus mengalahkan satu monster yang amat menakutkan. Bentuk monster ini kecil, segi empat dan tidak memiliki mata serta kumis lebat ala inspektur Vijay di Film India. hmm, kira kira monster apakah itu ?

Ya, monster itu bernama Skripsi. Ketika menghadapinya, Rambut saya menjadi rontok dan mata pun memerah. Bukan itu saja jiwa pun menjadi stress hingga berniat berjalan kaki satu minggu full dari Condet menuju Ciputat. Namun,  untuk kalimat yang terakhir tadi saya meralatnya dan tak perlu dijelaskan apa sebabnya.

Monster Skripsi mempunyai dua pengawal  yang biasa disebut dosen pembimbing. sebelum dengan tenang mengobak abik Monster Skripsi,  Saya harus melwati mereka dulu.

Perlu diketahui, Kedua pengawal tersebut amatlah tangguh, setangguh Liliyana Natsir dan Ahmad Tantowi, Ganda Capuran Bulu tangkis terbaik Dunia yang dimiliki Indonesia.

Agar dapat melewati  dua pengawal skripsi di atas, saya selalu membuat janji pertemuan dengan mereka. ini tersimpan dengan baik di dalam Gadjet jadul saya yang amat mungil. Di bawah ini adalah isi teks janji pertemuan tersebut

08121926xxx
3 April 2014
07.40 Wib

‘’Anda bisa menemui saya di LP2M Jam 10.00’’

081353350xxx
3 April 2014
08.05 Wib

‘’bisa, saya ada di LP2M sebelum jam 9’’

08121926xxx
5 Mei 2014
18.45 Wib

’Anda bisa menemui saya hari Selasa di Kafe Cangkir Lt 3 jam 1.30’’

081353350xxx
6 Mei 2014
07.58

‘’bisa, saya di LP2M jam 15.00’’


08121926xxx
3 November 2014
07.35 Wib

‘’Siang ini jam 2 anda bisa ketemu saya di LP2M’’

081353350xxx
3 November  2014
07.58 Wib

‘’Bisa pagi ini sblm jam 9 di LP2M (gd Kafe Cangkir Lt 3)’’

081353350xxx
3 November  2014
08.13 Wib

‘’ Saya ngajar jam kedua dan ketiga. Dan jam satu siang mau takziyah ke Bogor. Besok bisa juga pagi sblm jam 09.00’’

081353350xxx
4 November  2014
12.13 Wib

‘’ya. Anda ke kantor kalo bisa sekarang’’

081353350xxx
4 November  2014
12.24 Wib

’Sory baru ada tamu dtg. Kamu sejam setengah lagi ke sini ya.’’

081228608xxx
1 Desember 2014
13.18

‘’ya, nanti saya periksa’’

081228608xxx
9 Desember 2014
09.14 Wib

‘’  Mizan, anda ketemu saya besok saja. Hari ini saya cepat keluar dari kampus’’

Itulah rangkuman isi teks perjanjian pertemuan saya dengan para pengawal monster skripsi . 

setelah berhasil melewati pengawalnya, maka dimulai lah pertempuran saya dengan monster skripsi. kekuatan monster itu begitu dahsyat. pagi, siang, dan malam saya selalu bergulat dengan sang monster.

pribahasa berkata 'Tida gading yang tak retak' artinya tiada monster kuat yang tak memiliki kelemahan. setelah saya mengetahui titik lemah dari monster tersebut, nampaknya monster itu tidaklah ada apa-apanya jika dibandingkan dengan cicak-cicak di dinding. 

ya, titik lemah dari monster itu adalah di sumber primer dan skunder. saya pun mulai mencari sumber primer dan skunder tersebut. perjuangan yang cukup melelahkan memang, apalagi sumber-sumber tersebut berbahasa asing yang sulit untuk dimengerti. dengan konsentrasi dan konsisten penuh saya mengobrak abrik sumber-sumber yang menjadi titik lemah dari monster skripsi.

Selasa, 10 Februari 2015 akhirnya sang monster pun tersungkur dan tak berdaya. monster yang di cap paling menakutkan di Planet Kampus biru  itu akhirnya berhasil saya taklukan. Ini adalah sebuah moment bersejarah dalam hidup yang tak akan terlupakan. Kemudaian, saya  bersyukur dan berdo’a kepada tuhan.

‘’Ya Allah terima kasih banyak atas nikmat yang telah engkau berikan kepada hamba, semoga ilmu yang hamba punya kelak dapat bermanfaat untuk diri hamba sendiri dan orang lain. Amiin’’

pada akhirnya, dengan kepala tegap saya pun meninggalkan kampus biru menuju planet lain guna menyongsong kehidupan yang lebih baik.



Senin, 09 Maret 2015

DIA ADALAH MIZAN

AHMAD KHOERUL MIZAN
(ANAK CONDET CITA RASA TEGAL)


Namanya Ahmad Khoerul Mizan. seorang laki laki dari Desa Gunungg Agung, sebuah Desa di Kecamatan Bumi Jawa, Tegal, Jawa Tegah. Bulan Mei lalu dia  genap berumur 22 tahun, saya bertemu dia di rumahnya, daerah Condet Kramat jati, Jakarta Timur.
Saya memanggilnya ‘’Mizan’’. Dia seorang Mahasiswa jurusan Sejarah di kampus UIN Jakarta. Ketika menemuinya , dia baru pulang mengajar dari sebuah  TPA (Taman Pendidikan Al qur’an) yang tak jauh dari rumahnya di Condet.

Mizan adalah sosok yang mudah diajak berbicara, hal yang paling disukainya ketika berbicara adalah tentang sepak bola dan sejarah. Meskipun pengetahuan sepak bola dan sejarahnya belum luas.
‘’dulu waktu saya umur 5 th disini masih banyak pohon Salak sama dukuh condet, meskipun gak sebanyak waktu jamannya Ali Sadikin. sejarahnya, waktu jamannya Ali Sadikin, condet tuh dulu mau dijadiin cagar alam dan budaya Betawi tapi sayangnya ga pernah teralisasi,’’ jelas si Mizan.

Mizan dan kedua orang tuanya sudah lama tinggal di Condet. Kedua orang tuanya merupakan kaum urban yang datang dari Tegal. Bapaknya yang bernama Slamet menginjakan kakinya di Condet pada tahun 1982. Slamet merupakan cucu dari Tarwan, seorang petani miskin yang untuk makan pun harus hutang sana- sini.

Meskipun bisa di cap Tarwan adalah orang miskin, namun dia masih sempat memondokan anaknya yang bernama Sakam Sanusi ke sebuah pesantren di Kali Wungu, Kendal-Jawa Tengah. Sepulang dari pesantren Sakam Sanusi pun menikah dengah Rufi dan dikaruniai empat putra dan satu putri. Putra-putri tersebut bernama Suwarno, Sayudi, Samsuri, Tamjid, dan Sumirah.

Suwarno atau yang kerap di sapa ''Warno'' putra tertua Sakam, sejak kecil sudah diajarkan bertani. walhasil ketika besar pun dia telah lihai didalam memainkan cangkul, meskipun di sawah milik orang lain. Warno remaja harus menghadapi huru hara  di Desanya, hal itu disebabkan oleh pembrontakan Darul Islam  (DI) tahun 1950. Tahun 1948, desa gunung Agung dijadikan tempat persembunyian dan pelatihan tentara DI pimpinan Amir Fatah di Tegal.  Amir Fatah sendiri bermarkas di Lebak Siu.

Pada mulanya kehadiran tentara DI tersebut  tidak  menghadapi kendala dari masyarakat sekitar. subuh hari mereka mengajarkan pengajian agama  kepada masyarakat di mushola – mushola, sore harinya mereka latihan militer, dan malam harinya mengadakan patroli mengitari desa. Letaknya yang di himpit hutan dan perbukitan  Gunung Slamet menjadikan Desa Gunung Agung tempat yang strategis untuk persembunyian tentara DI.

Tahun 1950, Keadan begitu berubah ketika Tentara Republik Indonesia  (TRI) mengetahui persebunyian tentara DI di Desa Gunung Agung. Sikap Tentara DI pun berubah, mereka  mulai melakukan penjarahan terhadap rumah rumah warga. Mereka merampas beras, lauk-pauk, dan hewan ternak milik warga. Terkadang warga pun menjadi korban salah tembak dan tangkap TRI karena, dikira anggota DI.

Warno yang saat itu berusia 15 tahun bersama pemuda desa  ikut membantu pasukanTRI. Setiap hari Warno dan kawan-kawannya pun harus begadang  mengamankan desa. Warno  pernah dihajar  oleh tentara  TRI yang bernama Darusman karena dituduh mata-matanya DI. Akan tetapi, nyawanya tertolong karena temanya yang bernama Daslan memberitahu Darusman kalau Warno bukan mata-mata DI. 

Kegiatan begadang malam tersebut terus dilakukan hingga akhirnya TRI dibawah pimpinan Letkol Sarbini, dengan Gerakan Banteng Negaranya berhasil menumpas DI/TII pimpinan Amir Fatah di Tegal.

Sekitar tahun 1965 Warno menikahi seorang wanita cantik bernama Sedah. Berbekal sebagai kuli sawah Warno dan sedah pun mulai mengarungi kehidupan baru. satu tahun berselang lahir lah selamet . Slamet adalah anak pertama dari enam bersaudara . lahir dalam lingkungan keluarga yang miskin membuat Slamet belajar hidup prihatin sejak kecil. Ketika anak-anak sebayanya asyik bermain, sepulang sekolah Slamet harus menjual minyak tanah keliling desa.  Minyak tersebut diambilnya dari Walijah, seorang agen minyak di dusun Krikil.

Tahun 1973 Warno memasukan Slamet bersekolah  di SDN 1 Gunung Agung. Slamet merupakan siswa yang pintar dan terampil. Saat kelas empat, jika pak guru Ahmad tidak masuk,  diapun dijadikan asisten guru untuk menulis di papan tulis. Pak Ahmad adalah guru Slamet dari kelas empat sampai kelas enam.
‘’Slamet iku bocahe pinter, tulisane apik, kelas papat anjog kelas enem kui slalu rangking loro, sayange wong tuane ora due, dadineng ya ari sekolah apa anane, kadang pakaiane duwure putih celanane ireng, wis kaya kue nyeker maning.'' Kenang pak Ahmad yang sekarang ini masih menjadi guru di SDN 1 Gunung Agung.

Sayangnya Slamet hanya bisa bersekolah sampai lulus SD saja. Tahun 1982, Slamet memutuskan untuk hijrah ke Jakarta. Di Jakarta Slamet membantu pamanya yang bernama Samsuri berdagang Sayur di Pasar Mingu. Slamet tinggal dengan ‘Sam’ sapaan akrab Samsuri di sebuah kontrakan di Condet.  Condet merupakan sebuah perkampungan yang ada di pinggiran Jakarta timur. Warga desa gunung Agung yang datang ke Jakatra kebanyakan berdagang di Pasar Minggu dan menetap di Condet. 

Selain dijadikan tempat tinggal, kontrakan milik empok Sarpiyah ini juga dijadikan warung klontong oleh Sam. Siang pukul 2.00, Slamet harus belanja sayuran di Pasar Induk Kramat jati.  Bersama ke tiga temannya yakni Torikin, Jahidi, dan  Soleh, Slamet harus mendorong gerobak sejauh 4 km. sore harinya mereka sudah kembali ke kontrakan dan mandi di kali ciliwung. Pada masa itu kali ciliwung masih terkenal bersih dan bening airnya. Malam pukul 12.00, melewati jembatan gantung yang membentang di atas kali ciliwung ,Slamet dan teman-temanya  pergi berdagang ke pasar minggu .
’dulu kali ciliwung tuh bening banget airnya, batu-batu masih keliatan, kita pun bisa mandi ke tengah’’ tutur  Bapak Slamet.

Senin 3 November 1984, hawa malam terasa begitu panas. acara dunia dalam berita yang dibacakan pembaca berita seangkatan Anita rahman dan Idrus di TVRI baru saja usai mengumandangkan jingle khas penutupnya dilanjutkan  acara Arena dan Juara, sebuah acara  favorit meskipun hanya berupa rekaman-rekaman pertandingan menarik di beberapa cabang olah raga.

Pukul 20.00 Slamet telah selesai membersihkan sayuran. Dirinya dikagetkan oleh dentuman suara yang menyerupai sebuah peperangan. Sesaat kemudian orang-orang berlarian, sambil berteriak, ‘’Gudang peluru Cilandak  meledak !!, Gudang peluru Cilandak meledak  !!!’’. Ya, saat itu gudang amunisi milik TNI AD (masa Orde baru bernama ABRI) di Cilandak meledak dengan dahsyatnya.

Peluru yang terbang diangkasa bertebaran ke segala penjuru kota Jakarta, termasuk Condet.  keadaan begitu  panik. Menganggap hari itu seperti kiamat, Slamet dan warga disekitar pun berlindung di sebuah mushola.  Ibu-ibu dan anak-anak  banyak yang menangis, mereka pun tak mengetahui bagaimana kondisi rumah mereka yang ditinggal.

Pikiran slamet betul-betul kacau, diapun teringat keluarga di kampung. Bunyi ledakan terus terjadi hingga selasa siang. Tanggal 5, Slamet memutuskan untuk mudik ke kampung halamanya. Diapun baru kembali ke Jakarta pada tahun 1985.

Berbekal uang penjualan kambing, kali ini slamet membuka usaha dagang sayur sendiri. sekarang dia tidak ikut bersama pamanya lagi, Dia pun tinggal bersama kawan-kawanya di sebuah kontrakan kecil masih milik empok Sarpiyah.  ketika berusia 25 th Slamet bertemu dengan Nur Aeni. Kedua insan ini setiap hari bertemu di pasar. benih benih cinta pun tumbuh diantara mereka. Nur Aeni adalah gadis pertama yang dicintai Slamet, dia masih berasal dari Desa Gunung Agung. Di Jakarta, ‘Eni’ sapaan akrab Nur Aini, tinggal bersama kakak perempuanya  bernama Bunyanah yang juga berdagang sayur di Pasar Minggu. Kedua insan ini pun memutuskan untuk menikah pada  13 Juni 1990.

Kamis petang, tanggal 1 Mei 1991, di Desa Gunung  lahir lah putra pertama dari pasangan Slamet dan Eni. Putra tersebut diberi nama Ahmad Khoerul Mizan. Pada awalnya Slamet hanya memberi nama Mizan, namun Abd. Muin, ayah dari Eni menambahkan kata Ahmad Khoerul di depannya. Menurut Slamet, dalam bahasa Arab Mizan artinya  adalah timbangan. Slamet berharap kelak anaknya bisa menjadi orang yang pandai menimbang perbuatan alias menjadi orang yang bikasana. Sementara Mui n yang menambahkan kata Ahmad Khoerul mengatakan, ‘’Ahmad itu pada bae karo Muhamad, sunah yen due anak lanang diarani Muhamad atau Ahmad neng arepe, Khoerul iku artine bagus mugi bae ki bocah dadi bocah sing bagus awake lan ahlake,’’. Begitulah tutur Muin dua puluh tiga tahun yang lalu.

Empat bulan berselang Slamet membawa Mizan dan Eni kembali ke Jakarta. Slamet dan keluarga kecilnya tinggal di sebuah kontrakan ukuran satu kamar milik engkong Haji Mursalih di Condet. Lelaki tua asli betawi ini terkenal galak, sebelum jatuh tempo, uang sewa kontrakan harus secepatnya di bayar,  jika tidak pengusiran lah yang akan terjadi. Kala itu uang sewa kontrakan masih sekitar 25 ribu. Ditengah sedikitnya hasil untung yang didapat, Slamet dan Eni tak pernah lelah  berjualan sayur di pasar.

Pukul 21.00 Slamet pergi berbelanja di Pasar Induk, kali ini dia sudah tidak harus capek mendorong gerobak lagi. Slamet dan rekan-rekannya yang berjumlah lima orang  cukup membayar mobil pengangkut sayuran sebesar Rp 10.000. mobil tersebut pun mengangkut sayuran milik Slamet dan rekan-rekannya menuju Pasar Minggu.  pukul 1.00 dini hari Eni pun menyusul Slamet untuk berdagang di Pasar Minggu. ini adalah sebuah kolaborasi yang cukup indah dalam sebuah keluarga. Sementara itu, Si kecil Mizan dititipkan ke empok Nining, cucu Haji Mursalih.

Sabtu 5 Oktober 1991, bertepatan dengan hari ulang tahun ABRI ke 46, Mizan bayi yang sedang terlelap tidur terbangun dan menangis sejadi jadinya. Siang itu sebuah pesawat C-130 Hercules Skuadron 31 Angkatan Udara terempas jatuh, dan terbakar habis, setelah menabrak gedung Balai Latihan Kerja (BLK) di Condet, Jakarta Timur. Jarak antara BLK dan kontrakan yang ditempati Slamet tidak lah amat jauh. Warga di sekitar Condet pun dikejutkan dengan bunyi ledakan yang menggelegar dahsyatnya. Dengan seketika Slamet yang sedang mandi di kali ciliwung pun kembali ke kontrakan memastikan kondisi Mizan dan ibunya.

Mengulang tujuh tahun silam, warga kembali dibuat panic. Untungnya saja pesawat tersebut jatuh di rawa rawa. Terdapat 135 orang tewas. Korban yang tewas adalah 133 orang prajurit TNI-AU, dan dua orang sipil yang tertimpa reruntuhan burung besi itu. Hanya seorang prajurit yang selamat dan kemudiani dirawat di RSPAD. 

Hercules naas itu bertolak dari Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, dengan tujuan Bandung, menyusul dua pesawat sejenis yang telah tinggal landas lebih dahulu. Misinya mengantar pulang empat peleton Pasukan Khas (Paskhas) dari Skuadron 461 dan 462 yang bermarkas di Margahayu, Bandung.

Selepas kejadian itu, dua hari berikutnya Warno dan Muin selaku kakek Mizan langsung menuju ke Jakarta, mereka khawatir dengan kondisi Slamet dan keluarganya.

Tahun 1995, Ketika berusia empat tahun Slamet menyekolahkan Mizan di sebuah Taman Kanak-kanak (TK) bernama AL Arif  yang letaknya tidak jauh dari kontrakan mereka. di TK tersebut Mizan diajarkan beberapa pelajaran seperti menulis, menggambar, menyanyi, mewarnai, hafalan do’a-do’a, dan hafalan surat pendek. Namun, sayangnya Mizan tak satu pun berhasil menguawasai itu semua. Ketika buku tulis Mizan diperiksa oleh ibu Enjeh dan ibu Iyo, kedua guru TK itu hanya mendapatkan coret – coretan yang tak jelas.

Ada satu kelebihan yang dimiliki Mizan pada saat TK, kelebihan itu adalah ia pandai mengumandangkan Adzan. Keahliannya adzan didapatkan Mizan secara otodidak karena Slamet selalu mengajaknya ke Masjid setiap Sholat Jum’at. Di kontrakan, Mizan coba meniru apa yang dikumandangkan muadzin di Masjid. Ketika tetangga melihat aksinya mereka pun hanya tersenyum menyaksikan tingkah si Mizan.

Melihat Mizan bisa Adzan. Ibu Enjeh selalu menyuruh dia untuk adzan tatkala pelajaran praktek sholat berlangsung. Ibu Enjeh sangat perhatian dengan Mizan, umurnya yang masih empat tahun membuat Ibu Enjeh bisa memaklumi Mizan, jika ia tidak pandai dengan pelajaran yang diajarkannya. Suatu ketika Ibu Enjeh mendaftarkan Mizan untuk ikut lomba Adzan di daerah pondok Gede, hasilnya Mizan pun keluar sebagai juara ke 3. Dengan senang hati Ibu Enjeh pun memberikan hadiah berupa ciki Cittos bergambar donald duck yang menjadi idola anak-anak pada masanya.

Slamet dan Eni begitu menyayangi Mizan, tak pernah sekalipun mereka memarahi bocah cilik berambut lurus itu. Kadang kala ketika mereka mempunyai tambahan uang, keduanya selalu membelikan Mizan mainan berupa robot-robotan atau mobil -mobilan. Rengekan Mizan kecil ketika dia minta dibelikan sate Ayam di malam hari pun selalu mereka turuti.

Di masa TK, Mizan lebih banyak menghabiskan waktu bermainya dengan anak perempuan sebut saja Lina, Dian, dan Rahayu adalah nama temannya. Siang hari seusai pulang sekolah Mizan dan ketiga temannya bemain ke rumah Rahayu. Rahayu orangnya cantik dan baik, meskipun dia anak orang kaya namun, dia tak pernah pilah - pilih dalam berteman.  Rumah Rahayu lumayan cukup bagus, keluarganya adalah orang berada, hal yang terlihat kontras dengan kondisi keluarga Mizan yang bisa dikatakan serba kekurangan. Di sana mereka main masak-masakan, boneka-bonekaan, dan ibu-ibuan.
 
Namun demikian, terkadang Mizan juga bermain dengan teman laki-laki sebayanya , mereka adalah Irul, Jaka, Pian, Eka, dan Iwan. Mereka biasa bermain di kebun milik ‘Haji Ali’ engkongnya si Irul dan Eka. Kalau ketahuan mereka pun langsung dimarahin oleh pak Haji yang terkenal galak itu. ‘’eh tong lu pada bandel amat ya maen di kebon, entar ada uler baru nyahok lu !!,’’ Ucapan Haji Ali ketika memarahi mereka.

12 Juni 1996, Mizan harus  pulang keTegal, saat itu Eni harus melahirkan anak keduanya. Kali ini Aen dianugrahi seorang bayi Prempuan dan diberi nama Nur Ayu Amalia. Selama empat bulan Mizan menetap di sana. Mizan menjadi lebih dekat dengan kakeknya ‘Muin’. Kemanapun Muin pergi Mizan selalu ikut dibelakangnya.’’wis kaya buntut bae si Mizan (Udah kaya buntut saja si Mizan)’’  jelas Muin. 

Muin amat menyayangi Mizan.  selain sebagai cucu laki-laki pertamanya Muin juga menganggap Mizan sebagai anaknya. Hasil pernikahannya dengan Halimah, Muin tak satupun dikaruniai seorang putra. Empat orang anaknya berjenis kelain prempuan, salah satunya adalah Eni ibunda Mizan. Pria berbadan tinggi dan bersuara keras ini merupakan imam Masjid di Dusun sereang Desa Gunung Agung kala itu. Mizan selalu diajaknya ketika dia sholat di masjid. Ketika Muin akan pergi ke Sawah dan ke kebun Mizan pun selalu merengek untuk minta ikut. melihat tingkah Mizan Mu’in pun menjadi tidak tega, dan lalu mengajaknya.

Kebersamaan Muin dan Mizan harus terpisah untuk sementara. Eni membawa kembali Mizan dan adiknya ke Jakarta. Kali ini Mizan tak mau lagi masuk ke sekolah TK. Mizan mengetahui kalau teman-temannya seperti Dian dan Rahayu yang memang lebih senior satu tahun darinya telah masuk ke SD. Mizan pun harus berpisah dengan teman-temanya ketika Slamet mebawa  keluarganya pindah kekontakan yang sdikit agak besar di Gg Sawah, Batu Ampar. Jaraknya dengan lingkungan kontrakannya yang lama hanya dipisahkan oleh Jalan Raya Condet.

Di tempatnya yang baru, Mizan memiliki teman yang baru. Tiap malam hari dia selalu bermain dengan teman-temannya tersebut. Petak umpet, petak jongkok, Uler Naga, nenek Grandong adalah permainan-permainan yang selalu dimainkannya.  Fami, Asep, dan Fajar  merupakan segelintir dari banyaknya teman Mizan kala itu. Terkadang ketika sore hari mereka bermain ke Lapangan bola ‘Latoq’ untuk menyaksikan orang dewasa bermain bola.

Pada tahun 1997, krisis ekonomi  serta kemarau panjang yang melanda Indonesia berdampak pula terhadap perekonomian Slamet. Pendapatan dari hasil berdagang sayurnya merosot tajam.  Di Pasar Minggu dia harus kejar-kejaran akibat pengusiran dari Kantib. Kebingungan melanda Slamet, diapun harus hutang sana sini untuk menutupi modal. Slamet menjadi bersifat temperament. Pernah ketika Mizan meminta uang dua ratus rupiah untuk membeli ciki di warung, bukannya uang yang didapatkan tapi malah pukulan sapu di punggungnya. Mizan pun hanya bisa menangis sejadi-jadinya.

Meskipun demikian, Slamet amat peduli dengan pendidikan anaknya. satu bulan setelah Indonesia melaksanakan pemilu legislatif 1997, dia pun menyekolahkan Mizan ke MI Al – Amin Condet batu ampar, sebuah sekolah  berhaluan Islam yang setingkat dengan SD. 

Masuk kelas satu, Mizan pun mulai bisa menulis dan membaca. Ibu Rita adalah guru yang mengajar kelas satu. Mizan begitu mengidolakan Ibu Rita, meskipun  begitu beliau terkenal tegas dan galak. Karena kegalakannya Mizan pernah tak berani meminta izin untuk buang air kecil ke kamar mandi. Akibatnya Mizan pun  harus buang air kecil di celana. Kelas pun menjadi becek karena kencing Mizan. Dengan sedikit agak kesal bu guru cantik itu menyuruh Mizan untuk pulang ke rumahnya.
Tingkat kecerdasan Mizan bisa dikatakan hanya sedang-sedang saja, tidak pintar juga tidak bodoh.

Pada akhir Catur Wulan 3 (sekarang disebut Smester II) prestasi Mizan cukup memuaskan dengan menempati peringkat ke 6. Dia pun naik ke kelas dua. Hal yang membuat sedih adalah ketika Ibu Rita memutuskan untuk keluar dari MI Al Amin, Mizan merasa kecewa karena tidak akan lagi pernah melihat ibu guru idolanya itu.

Ketika terjadi huru hara  Peristiwa 98, Mizan bersama warga di sekitar Condet dengan jelas menyaksikan bagaimana gumpalan asap hitam tebal melambung di angkasa. Beberapa Pasar Swalayan di Pasar Minggu bermerek Robinson dan Ramayana, dibakar habis oleh masa yang berunjuk rasa menuntut lengsernya Presiden Soeharto. Penjarahan Pasar Swalayan dan Toko-toko milik etnis Tiong hoa terjadi dimana-mana. Jamal, tetangga Mizan berhasil membawa pulang Tv 21 inc. sementara itu  beberapa tetangga yang lain ada yang membawa kompor gas, Radio, Vcd hingga kaset radio music lagu anak-anak. Kejadian itu merupakan sejarah besar bagi Indonesia dimana terciptanya sebuah  peralihan  masa dari orde baru yang kelam menuju Reformasi yang penuh dengan jutaan harapan.

Badai pasti berlalu, perekonomian Slamet pun mulai membaik. kantib di pasar pun tidak lagi mengusirnya, karena Slamet kini menyewa sepetak tanah ukuran 2x2 m di halaman Pasar Djaya, pasar Minggu. Sementara itu, Eni mendapatkan tawaran untuk pindah kekontrakan kakaknya yang bernama Bunyanah. Dasir suami Bunyanah menjamin kalau Slamet tak perlu membayar uang seperpun setiap bulanya, kecuali bayar tagihan listrik. Slamet dan keluarganya pun menyetujui untuk pindah ke kontrakan yang terletak di Gg Astawana.

Gg Astawana adalah sebuah gang yang lingkungannya ditutupi oleh rimbun pepohonan salak dan dukuh Condet. Salak dan Dukuh Condet merupakan buah khas kota Jakarta. Keberadaannya kini sudah langka karena  perkebunan salak dan dukuh di condet sudah berubah menjadi kawasan padat penduduk.

Namun sayangnya, iming-iming kontrakan gratis itu cuman pepesan kosong. Slamet harus membayar biaya sewa sebesar lima puluh ribu rupiah. Lebih parahnya lagi kontrkan yang berukuran 3 x 4 m itu harus menyambung dengan dapur dan kamar mandi dari rumahnya Bunyanah.  Bangunan itu juga hanya beratap asbes. Bisa dibayangkan bagaimana pengap dan  baunya kontrakan yang lebih pantas disebut gudang tersebut.

secara geografis lingkungan kontrakan yang mereka tinggali sangat setrategis  karena letaknya yang dekat dengan Pasar minggu. Namun, tidak untuk Mizan, perjalanannya ke sekolah dua kali lipat lebih jauh dibanding kontrakannya yang dulu. Setiap hari Mizan harus berjalan kaki ke sekolah pukul 6.00 pagi bersama Asep dan Lis. Asep dan Lis merupakan sepupu Mizan, mereka adalah anaknya  Bunyanah.

Euphoria Piala Dunia Prancis 98 begitu menggema kala itu, virusnya pun menjangkit warga Gg Astawana. meniru gaya pemain bola yang ditontonnya di Tv, layaknya Zidane, Batistuta, Suker, Ronaldo, Beckham, ataupun Roberto Baggio, Tiap sore Mizan bermain sepak bola disebuah lapangan yang ditengah-tengahnya banyak pohon dukuhnya. Bakat bermain bola Mizan mulai terlihat. kala itu, dia pandai diletakan sebagai penjaga gawang. Teman-temannya seperti Ayung, Bian, Asep, dan Puji pun kerap memujinya karena aksinya menjaga gawang mirip dengan Kurniasandi, penjaga gawang nasional yang sedang beken di era tersebut.

Satu tahun mengontrak disana Slamet dan keluaranya tak pernah merasakan kenyamanan. Udara yang pengap, bau yang tidak sedap, dan terkadang selisih faham dengan keluarganya Bunyanah adalah suasana yang harus dihadapi setiap hari.  Juli 1999, Slamet mengajak keluarganya berpindah kontrakan lagi. Kali ini dia kembali ke lingkungan dimana Mizan TK pernah tinggal. Slamet tidak kembali menempati kontrkan Engkong Mursali lagi, kini dia menempati kontrakan Milik Haji Ali
.
Mizan kembali bertemu dengan teman-teman lamanya seperti Irul, Eka, Pian dan lain-lain. Mizan juga sempat bertemu dengan Rahayu, namun Rahayu yang sekarang berbeda dengan yang dulu. Dia menjadi lebih tinggi dan cantik. Rambutnya yang lurus dan panjang terurai seperti Meisyi, penyanyi cilik yang ngetop di Tv ERA 90-an.

keahlian Mizan dalam main bola  makin kelihatan, ditahun 2001 bersama teman temannya dia sempat membuat klub dengan nama Northern United F.C. Namun, klub itu harus bubar dikarenakan kostum sepak bola yang mereka ingin buat tidak pernah terlaksana.  Mizan sempat menerangkan keinginannya menjadi  pemain sepak bola ke Slamet, namun Slamet dengan tegas menolaknya.
‘’kalo kamu jadi pemain bola, yang ada kamu gak bakal pernah sholat. Liat aja pemain bola waktunya sholat malah main bola, udah nanti kamu bapak masukan ke pesantren aja’’ jelas Slamet kala itu. 

Mizan pun meneteskan air mata dikarenakan keinginannya menjadi pemain sepak bola hanya menjadi impian belaka.

Kedua orang tua benar benar tidak mendukung Mizan dalam hal sepak bola. Slamet dan Eni juga melarang Mizan menonton pertandingan liga sepak bola Eropa kalau tengah malam,  alasannya adalah takut nanti dia mengantuk di sekolah.  Pada usia 9 tahun Mizan sering nonton pertandingan sepak bola di tv. Tim yang dijagokannya adalah Juventus. Dia amat mengidolakan pemain Juventus yang bernama  Filipo Inzaghi. ketika Inzaghi pindah ke klub AC. Milan, Mizan pun jadi berubah mengidolakan klub AC. Milan. Menurutnya Inzaghi adalah pemain sepak bola yang paling jago ngegolin. hingga kini,  AC. Milan tetap menjadi tim idolanya, mungkin jika tuhan mengizinkan sampai kiamat pun dia akan tetap jadi fans dari klub yang berjuluk 'Irrosoneri' tersebut. FORZA MILAN !!!

Slamet sering menyembunyikan Antena Tv agar Mizan tidak bisa menonton bola di tengah malam. Tidak kehasbisan akal, Mizan pun menggunakan garpu sebagai antenna Tv. Dengan begitu dia pun begitu menikmati pertandingan yang sedang berlangsung di  tv.

Suatu ketika, disekolah Mizan pernah membeli poster bergambarkan pemain bola, karena ketahuan oleh gurunya yang bernama pak Taufik, poster itupun disitanya. Sedih bercampur kecewa itulah yang dirasakan Mizan. Namun, kekecewaanya sedikit terobati karena sepulang sekolah, tidak disangka-sangka Eni telah membelikannya kaos bola bertuliskan Inzaghi. Dengan semangat kaos itu pun langsung dia pakai untuk bermain bola bersama teman-temannya.

Pada waktu kelas 4, prestasi Mizan disekolah merosot tajam. Kali ini dia menempati rangking 16, hal yang jauh dari kepribadian seorang Mizan, karena dia biasa menempati rangking 6. Rangking 6 adalah prestasi terbaiknya, hal tersebut sudah cukup lumayan mengingat dari rangking 1-5 selalu diduki oleh perempuan yang boleh dikatakan  jenius semua. Jadi, bisa diaktakan Mizan adalah anak laki-laki terpandai dikelasnya.

Merosotnya rangking Mizan membuat Slamet geram. Mizan pun tak henti-hentinya diberikan ceramah oleh Slamet, puncaknya adalah mebelah bola plastikyang selalu mizan mainkan dengan teman-temannya.
‘’kamu ini kerjaannya main bola mulu, udah bapak bilangin belajar kalau malem, yang dipentingin malah main !!!’’ bentak Slamet.  Mizan pun hanya bisa tertunduk mendengar perkataan bapaknya.

Ketika bulan puasa tiba, bermain petasan adalah permainan favorit Mizan dan teman-temannya. Setiap subuh mereka sudah memulai aksi bakar petasan. Terkadang mereka berperang melawan anak kampong sebelah. Pukul 8.00 mereka kemudian pergi ke rumah Mpok Mamah di Gg H.Yahya. Di sana mereka mengambil kue putu mayang dan kue lapis untuk di jual keliling kampong. Memang sudah menjadi kebiasaan bagi anak-anak di condet ketika bulan puasa mereka rami-ramai berjualan kue keliling kampung. Hasil dari penjualan kue biasanya mereka dapat upah tiga sampai Lima ribu rupiah.
 ‘’puasa-puasa udah panas lagi, kita jualan kue lupis sama kue putu mayang, kue asli betawi tuh. kalau kaga abis kuenya kita jual sama keluarga di rumah, sisa dagangan yang gak abis kita makan di kober  (kuburan) hehehe’’ celetuk Mizan sambil tertawa.
 
Seusai jualan, pukul 15.00 Mizan dan teman-temannya lalu mandi ke kali ciliwung. Kali ini kali ciliwung tidak sejernih dahulu, airnya butek, bau, dan banyak sampah. Namun, semua itu tidak menyurutkan semangat anak-anak untuk ‘ngobak’ atau berenang di kali tersebut, terkadang tidak sengaja air kali terminum. ‘’lagi ngobak, air kalinya keminum, kaga sengaja kan minumnya, jadi puasanya kaga batal, haha’’ tambah pemuda yang berkulit sawo matang tersebut.

Memasuki kelas 5 di tahun 2001, MT teman sekelasnya  adalah anak perempuan  yang dikagumi  Mizan. Diam-diam Mizan naksir dengannya.  Perasaannya terhadap MT pun terus ia pendam hingga lulus SD. Satu kekurangan Mizan adalah dia memiliki sifat pemalu terhadap perempuan, sesuatu yang begitu kontras dengan sifatnya pada waktu TK dulu.

Di tahun 2003, Mizan melanjutkan sekolahnya ke Mts Negeri 6 Condet Batu Ampar. Mizan begitu senang karena banyak teman-teman MI nya yang melanjutkan sekolah disini. Di kelas satu Mts, Mizan memiliki teman yang bernama KC. KC mampu mengalihkan perasaannya dari MT. Penyakit malu mendekati perempuan memang sudah akut tertanam dalam diri Mizan. Meskipun setiap hari keduanya bertemu, namun tak satu pun  dari kata ‘Aku Cinta Kamu KC’ yang keluar dari mulut Mizan.

Satu guru yang paling di takutkan Mizan adalah Pak Darman. Perawakannya bertubuh sedang, meskipun masih berumur 40-an tahun namun rambutnya sudah berwarna putih. Pak Darman adalah guru Fisika, dia tak segan segan membentak siswa jika siswa tersebut melakukan kesalahan. 

Prestasi Mizan di kelas ini bisa dikatakan sedang sedang saja, adakalanya dia masuk sepuluh besar adakalanya tidak. di kelas satu, dari dua semester Mizan tak sekalipun masuk dalam sepuluh besar. namun di kelas dua dan tiga dia sempat juga bertengger di sepuluh besar. hal ini cukup wajar Mts N 6 adalah sekolah negeri tentu persaingannya lebih ketat ketimbang dulu waktu di SD yang swasta. 

Mizan juga kerap diandalkan teman-temannya sebagai pemain andalan ketika kelas mereka bertanding sepak bola dengan kelas lain di Mts N 6. lagi lagi sepak bola seperti sudah menjadi bagian dalam hidup Mizan. di mana ada Mizan di situ ada sepak bola.

Tahun 2004, Slamet membeli sebidang kebun Salak dan dukuh di Gg. Astawana. Pohon-pohon salak dan dukuh itu kemudian ditebang, karena Slamet memiliki niatan membangun rumah di tempat itu. Bulan Juni 2004 rumah tersebut akhirnya jadi. Slamet dan keluarganya kembali lagi ke Gg Astawana, namun kali ini mereka tidak mengontrak lagi dengan Bunyanah, impian Slamet untuk memiliki rumah sendiri akhirnya tercapai.

Mizan semakin senang, di belakang rumah mereka terdapat lapangan sepak bola, setiap sore anak-anak Astawana selalu main bola. Sepak bola di daerah tersebut merupakan sebuah hiburan rakyat yang tiada duanya.  Mizan bersama teman-temanya dengan klub bernama 'Harapan Muda' (Harmud FC) sering mengikuti tournament sepak bola antar kampong, hasilnya mereka pernah dua kali  menjadi juara yakni, satu kali di Turnamen yang diadakan di Pasar Minggu  dan satu lagi di belakang SMP 35 Condet.

Pada kelas dua Mts Mizan harus berpisah kelas dengan KC. Teman-teman di kelas ini terbilang lebih assik sebut saja ada Arif, Solihin, Riki dan masih banyak yang lainnya. Arif lebih terkenal dengan nama samarannya yakni Piyonk. Karena rumah Piyonk dan Mizan tidak terlalu jauh setiap hari mereka selalu bareng berangkat ke sekolah. Kebiasan rutin mereka adalah menunggu angkot O7 setiap pagi untuk menuju sekolahan mereka. mereka selalu stay di depan ibu gemuk penjajal koran. dalam menunggu angkot biasanya mereka membaca-baca Koran terutama   Bola, Go dan Top Skor’ dan terkadang sambil bercerita tentang pertandingan sepak bola yang terjadi tadi malam.

Memasuki kelas tiga, Mizan kembali bersama dengan Piyonk dan Solihin dalam satu kelas. Dimata Mizan, Piyonk adalah anak yang kocak, ucapannya selalu membuat teman-teman tak berhenti tertawa. ‘’Piyonk tuh bocak yang kocak, persis kaya pelawak, kalau dia ngomong pasti orang yang di sekelilingnya  tertawa ‘’, ungkap Mizan menjelaskan sosok Piyonk alias Arif. 

Dikelas  tiga ini bersama teman-temannya, Mizan berhasil merajai sepak bola kawasan Mts 6. Hampir disetiap ngadu bola dengan kelas-kelasa lainnya, mereka selalu memenangkan pertandingan dan memperoleh uang taruhan. Uang taruhan tersebut  mereka kumpulkan  dan hasilnya pada akhir tahun mereka memperoleh uang sebanyak Rp 200. 000. Mendapat uang sebanyak itu mereka pun kemudian mengadakan pesta di Rumah iswandi salah satu rekan sejawat mereka. hidangan beraneka macam pun terpampang di meja ada Seprit, Coca-cola, serta snack. Dari pagi hingga sore mereka berada di sana, dan adzan magrib pun mengantarkan mereka pulang ke rumah masing -  masing.

Tahun 2006, Mizan lulus dari Mts 6. Slamet merealisasikan janjinya empat tahun silam, yakni memasukan Mizan ke sebuah pondok pesantren. Pondok Pesantren Al-Hikmah Benda di Bumi Ayu, Brebes-Jawa tengah adalah pilihan Slamet untuk melanjutkan pendidikan Mizan. Pada awal-awal mondok, Hampa adalah perasaan yang slalu timbul dalam diri Mizan. Dia slalu merindukan keluarga dan teman-temannya yang nan jauh di Condet-Jakarta. Dia harus nyuci baju sendiri, makan dengan makanan yang tak selezat di rumah, dan bangun pada pukul 04.00 pagi.

Sedikit demi sedikit Mizan pun akhirnya dapat beradaptasi dengan kehidupan di pondok pesantren. Dia menempati kamar bernama Nurul Hikmah, sebuah kamar yang diperuntukan untuk anak-anak dari Tegal. Di pondok asuhan K. H. Labib Shodiq Suhaimi ini Mizan memiliki teman dari berbagai daerah di Pulau Jawa dan Sumatera, ada yang berasal dari Brebes, Banyu Mas, Pemalang, Cirebon, Jakarta, Bandung hingga Bandar lampung. Keaneka ragaman seperti itu lah yang pada akhirnya membuat Mizan betah tinggal di Pondok Pesantren.

Mizan bersama para santri biasanya memulai aktifitas pukul 4.00 pagi. Di jam segitu mereka mulai mengantri untuk mandi  dan bersiap-siap untuk melaksanakan sholat subuh berjamaah. Setelah itu, mereka mengaji qur’an di dalam kelas dan kemudian dilanjutkan mengaji kitab kuning yang diampu oleh ‘Abah Labib’ begitulah sapaan akrab dari K.H. Labib Shodiq Suhaimi, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikmah 1. Kia ini amat dihormati oleh Mizan, dia selalu berdo'a semoga Tuhan selalu memberikan kesehatan buat sang kiai karena ilmu dan tauladannya amat begitu diharapakan oleh santri dan umat. Amiin.

Pukul 7.00 Mizan berangkat ke sekolahnya, dari sekian banyak institusi pendidikan di Al-Hikmah, dia memilih untuk bersekolah Madrasah Aliyah. Sekolahnya kali ini tak seramai seperti ketika Mts dulu, muridnya sangat sedikit sekali, jika di total mungkin satu sekolahan hanya ada 150-an siswa-siswi. Jika di Mts dulu setiap jam istirahat Mizan selalu bermain sepak bola dengan teman-temannya, kali ini dia hanya ngobrol dengan beberapa temannya di dalam kelas. 

Sepulang sekolah biasanya Mizan pergi makan ke rumah ibu kos.  Di pondok Al-Hikmah untuk hal makan para santri tidak lah masak sendiri melainkan mereka kos makan dengan warga Desa Benda. Kegiatan pesantren baru dimulai lagi selaepas ba’da Ashar. Para santri melaksanakan kegiatannya untuk belajar di Madrasah Diniyah (Madin) di dalam kelas. Kitab kuning adalah pelajaran yang selalu diajarkan di Madin tersebut.

Gudik dan bisul adalah penyakit yang kerap menghigapi para santri, tak terkecuali Mizan. selama tiga bulan Mizan begitu tersiksa dengan penyakit itu, hingga menyebabkan muculnya pemikiran dalam dirinya untuk keluar dari pesantren tersebut. Akan tetapi teman-temannya sebut lah Ipunk, Wiro, Rizal, Asep, dan Sulaiman selalu menyemangati dirinya sehingga dia pun mengurungkan niatnya untuk keluar dari pesantren.

Hal yang paling dibenci Mizan dari Pesantren adalah ketika barang-barang  atau uang yang dimilikinya hilang. Untuk barang-barang seperti ember atau pun sandal masihlah dimaklumi, tapi kalau untuk uang sudah lah terlewat batas.
  
Menurut Mizan, meskipun pada awalnya kurang disukai, namun  di pesantren dalah periode  yang paling indah. Di sana dia mendapatkan banyak Ilmu agama, di sana juga ia  belajar arti dari sebuah kehidupan hingga rasa kekeluargaan yang begitu erat, satu hal yang tak pernah dia rasakan dahulu. Mizan begitu amat berterima kasih kepada kedua orang tuanya, Slamet dan Eni. ia yakin mereka tak pernah salah dalam menuntun dirinya tuk mengarungi masa depan kelak.   

Setelah lulus dari Pesantren, Mizan pun memutuskan untuk kembali ke Condet dan melanjutkan studynya di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Baginya Condet  adalah bagian dari hidupnya, dia pun pernah berujar ‘’kemanapun gue pergi pada akhirnya gue akan balik lagi ke Condet, karena dari tempat inilah gue ingin mewujudkan semua cita-cita gue''. tutup Mizan sambil merapikan peci putih yang ada dikepalanya