Rabu, 04 Maret 2015

UIN JAKARTA DAN CERITA TOKO BUKU DI SEKITARNYA



‘’Rud, gue mau beli buku sejarah peradaban islam karya Badriyatin nih, anterin gue ke Kwitang yuuk !’’
‘’Hakim, lu mau beli buku ke Kwitang ???, ga usah jauh - jauh Kim, disekitar kampus kita juga banyak toko buku, mending kita datengin Toko – toko itu, siapa tahu aja banyak yang ngasih diskon.’’
‘’oh gitu, yaudah kalo begitu anterin gue yuuk, daripada ke Kwitang kan nghabisin ongkos doank.’’
‘’oke bisa diatur hehe.’’
Begitulah, Dialog dua orang Mahasiwa semester pertama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN) Jakarta. Diantara mereka ada yang ingin membeli sebuah buku Sejarah islam karya Badriyatim, kemudian temannya memberi tahu, kalau ingin membeli buku, tak usah jauh – jauh ke Kwitang, di sekitar kampus UIN pun terdapat banyak Toko Buku.

Kampus UIN Syarif Hidayutullah merupakan salah satu Universitas di Indonesia yang memiliki sejarah panjang. Kampus yang yang terletak di Ciputat ini, mulai dirintis berawal dari kebutuhan stok guru yang melanda Departemen Agama (DEPAG) pada tahun 1950 -an. Atas dasar itulah kemudian DEPAG meresmikan berdirinya ADIA (Akademi Dinas Agama) pada 1 Juni 1957.
Melalui peraturan Presiden No 11 tahun 1960 bertepatan 24 Agustus 1940, ADIA Jakarta dan PTAIN Jogja dintegrasikan didalam satu wadah bernama Intitut Agama Islam Negeri (IAIN). dengan begitu nama ADIA pun diubah menjadi IAIN.

IAIN diresmikan oleh Menteri Agama di Gedung kepatihan Jogjakarta, sejak saat itulah Indonesia memiliki dua Perguruan Tinggi Islam, yakni IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan IAIN Sunan Kali jaga Jogjakarta.

Seiring berjalannya waktu, melalui surat keputusan bersama (SKB) antara  Menteri Pendidikan Nasional No 4/U/KB/2001 dan Menteri Agama No 500/2001. kemudian Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Dirjen keuangan RI No S-490/MK-2/2002, Presiden mengeluarkan surat keputusan NO 031 pertanggal 20 Mai tahun 2002 yang isinya, secara resmi IAIN di Jakarta berganti nama menjadi UIN Syarif Hidayatullah  Jakarta. Maka, sejak saat itulah kampus itu lebih dikenal dengan nama UIN hingga sekarang.

Keberadaan Kampus UIN sendiri sedianya merupakan ladang emas bagi para pengusaha Toko Buku, walhasil dari dahulu hingga sekarang Toko buku pun banyak bermunculan di sekitar UIN.
Toko Buku di sekitar UIN nampaknya cukup berperan bagi Mahasiswa, terutama bagi mereka yang ingin mencari sumber refrensi. Namun, sangat disayangkan keberadaan Toko buku tersebut sekarang ini sudah tidak se ramai dulu.

Jumlah Toko buku disekitar UIN  kini telah berkurang. Lalu, apakah penyebab berkururangnya toko buku tersebut ?

Prof. Azyumardi Azra (60 Th), Guru besar Uin Syarif Hidayatullah Jakarta menuturkan kalau keberadaan Toko buku disekitar UIN sekarang ini tidak berkembang secara Signifikan. Dahulu ketika beliau menjadi mahasiswa, tepatnya tahun 1976, Toko buku hanya ada di tempat  yang sekarang  ini menjadi Gedung Wisma Usaha.  Banyak mahasiswa yang berkunjung ke Toko buku tersebut. Kala itu, Gairah mahasiswa berdiskusi begitu hidup, untuk itu mereka pun sering membeli buku sebagai pegangan berdiskusi.

Dalam perkembangannya, setahu Prof Azyumardi Azra  di tahun 80-an hingga 90-an salah satu Toko buku yang paling menonjol dan diminati oleh mahasiswa adalah Toko Buku Batu Bara.
‘’Dulu Mahasiswa di UIN ini sering mengadakan diskusi. kelompok diskusi selalu ada di pojok – pojok kampus, setiap mahasiswa yang ikut diskusi harus membaca buku kalau ga, dia akan merasa malu. untuk itu lah mereka sering pergi ke toko buku,’’ tutur Profesor yang sekarang ini menjabat Direktur Utama Pasca Sarjana UIN.
‘’Salah satu Toko buku yang ada itu di gedung yang sekarang ini menjadi gedung  Wisma  Usaha.  di tahun 80-an hingga 90-an ada Toko Buku Batu bara, mahasiswa banyak yang berkunjung ke sana,’’ imbuhnya.

Beliau juga menambahkan bahwa berkurangnya kunjungan mahasiwa ke Toko buku di masa sekarang ini disebabkan karena sifat manja dan hidup makmur yang dirasakan oleh mahasiswa, kelompok diskusi mahasiswa  juga tak sehidup seperti masa dulu, selain itu adanya internet juga merupakan factor lain yang menyebabkan mahasiswa malas ke toko buku.
‘’sekarang itu kelompok diskusi mahasiswa tak seramai dulu, mahasiswa sekarang itu sudah lebih makmur dibanding mahasiswa dulu, dulu masiswa tuh jalan kaki, tidak ada yang naik motor atau pun mobil. Satu kampus mungkin hanya ada satu mahasiswa yang bawa mobil, itu pun mobil tua yang harus dipanaskan dulu sebelum dinyalakan,’’ papar sang Profesor sambil tersenyum.
‘’karena sudah makmur mahasiswa menjadi manja, dampaknya pun mereka malas pergi ke Toko buku atau pun membaca buku. Internet nampaknya merupakan salah satu factor penyebab sedikitnya mahasiswa ke Toko buku, dengan internet sekarang ini mahasiswa bisa dengan mudah mengakses buku – buku online’’ tambah  Pria kelahiran Lubuk  Pakam, Pariaman 60 tahun silam itu.

Hari ini cuaca begitu cerah,  seorang teman saya sudah menunggu di halte UIN, kami memiliki niatan untuk melakukan kunjungan ke beberapa Toko buku yang ada di sekitar UIN. Toko Buku Batu Bara adalah tujuan kami yang pertama, Kami pun pergi ke Jalan Ibnu Batutah, sebuah Jalan dimana Toko tersebut berada.

Begitu memasuki Toko, Dua karyawan berbaju hijau dengan ramah menyapa kami, interior dari Toko buku ini terkesan cukup sederhana. Buku - buku begitu tersusun rapi didalam raknya. Karena waktu masih menujukan pukul 9. 30, keadaan pengunjung pun boleh dibilang masih sepi. Terlihat hanya ada satu orang mahasiswa yang sedang memilih – milih buku.

Toko buku yang dikelola oleh Ibu Mahmudah ini merupakan salah satu Toko buku yang sudah lama ada di sekitar Kampus UIN. Pada tahun 1985,  Bapak Syafi’i suami dari Ibu Mahmudah secara resmi mengambil alih kepemilikan Toko Buku tersebut dari pemilik sebelumnya, Kol. Batu Bara.
Di Toko Buku Batu Bara diskon harga buku merupakan senjata utama untuk menarik datangnya pengunjung terutama mahasiswa. setiap harinya toko ini tak pernah sepi dari kunjungan mahasiswa. Untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa, Toko ini menyediakan berbagai jenis buku mulai dari buku Agama, Humaniora, Sains, Filsafat, Sastra , dan Ekonomi.
‘’aku sering beli buku di sini, di sini harganya murah, buku yang kita beli sekalian disampul sama abang abangnya, dah gitu kita juga bisa mesen buku  jika, buku yang kita cari ga ada di sini,’’ ujar Lidya (22 th), salah seorang mahasiswi yang berkunjung ke sana.

Dari tahun 1985 hingga tahun 2000, Toko Buku Batu bara mengalami perkembangan yang luar biasa. Pada era tersebut Toko ini bisa dikatakan merupakan tempat membeli buku terfavorit bagi mahasiswa. Di era sekarang kunjungan masiswa ke Toko ini masih cukup lumayan, meskipun presentasinya tak sebanyak dulu.
’mulai  tahun 1985 hingga tahun 2000 perkembangan Toko Buku Batu bara cukup luar biasa ya mas, bisa dikatakan toko ini merupakan toko favorit lah bagi mahasiswa,  Setiap harinya toko ini selalu ramai dikunjungi mahasiswa. Tahun 2000 sampai sekarang kan internet dah mulai banyak tuh mas, semenjak itu kunjungan mahsiswa sedikit agak menurun,’’ tutur  Doi (30 Th), salah satu karyawan di Toko Buku tersebut.
“Sebenarnya kami tidak terlalu khawatir dengan keberadaan internet yang  secara tidak langsung mengurangi kunjungan mahasiswa kesini. dengan diskon buku, ternyata masih cukup menarik perhatian pengunjung terutama mahasiswa untuk berkunjung ke sini,” terang  pria berambut belah pinggir tersebut.

Sekarang ini, Internet bisa dikatakan menjadi  penyebab menurunnya animo mahasiswa untuk berkunjung ke Toko buku. Dengan internet mahasiswa dapat dengan mudah mengakses segala macam buku online ataupun mendownload Journal.
Melepas dahaga, sejenak kami pun membeli Es kelapa muda di kios sebelah Toko Buku Batu bara. Perjalanan kami lanjutkan ke sekitaran Masjid Fethullah. Di sekitaran bangunan yang didirikan oleh lembaga pendidikan Turki, ‘’Fethullah Gulen Chair’’ ini terdapat banyak sekali kios dagang. Diantara kios dagang itu terdapat satu Toko Buku bernama Barokah. dengan bergegas kami pun memasuki Toko Buku  tersebut.

Adalah Muhamad Abduh (33th), sang pemilik Toko Buku Barokah. Alumni Fakultas Syariah  tahun 2004 ini memulai usaha Toko Bukunya pada tahun 2001, saat itu dia masih menjadi Mahasiswa semester dua. Semangatnya untuk menjual buku didasari prinsip bahwa seorang mahasiswa harus bisa berwirausaha. dengan begitu, mahasiswa bisa mengerti akan arti hidup yang sebenarnya.
‘’tahun 2000 saya mahsiswa jurusan muamalah perbankan syariah, saya berfikir kalau saya harus bisa cari uang sendiri, dengan sedikit modal akhirnya di tahun 2001 saya mulai merintis nih Toko Buku Barokah,’’ tutur Pria berbadan tambun itu.
  
ketika  masa awal merintis menurutnya, kesulitan yang dihadapi ialah sepinya Mahasiswa yang berkunjung ke tokonya, terlebih lagi ketika liburan semester telah tiba. Baginya, konsisten dan sabar itulah kunci kenapa toko buku yang dikelolanya masih bisa bertahan sampai saat ini.

Sebagai sebuah Toko Buku, Toko Buku Barokah akhirnya mulai berkembang pada tahun 2004 hingga sekarang. Pada tahun 2004 penghasilan yang ia dapatkan adalah Rp 1. 000. 000 per hari, namun sekarang ia bisa mendapatkan Rp 3. 000. 000 seharinya.
Menurut Bapak Abduh, kunjungan Mahasiswa ke Tokonya sekarang ini masih sama seperti dahulu. Namun, karena setiap tahun  jumlah Mahasiswa UIN makin bertambah, jika dilihat dari presentasinya bisa dikatakan mahasiswa yang berkunjung menjadi terlihat sedikit.
‘’dulu pas tahun 2004 satu juta sih dapet sehari, kalo sekarang bisa dapet tiga jutaan seharinya, itu juga kan harga buku dulu sama sekarang kan beda, kalo di itung itung sama aja sih, ya namanya orang usaha yang penting kita sabar dan konsisten aja’’ tambah bapak berjenggot tipis ini sambil ketawa.

Dalam  masalah suplai buku, Toko-toko Buku disekitar UIN tak pernah kekurangan jumlah buku. Kebanyakan buku-buku tersebut disuplai langsung dari daerah Senen dan juga penerbitnya sendiri. Daerah senen merupakan salah satu surga buku yang ada di Jakarta.

Jam di Hp ku menunjukan pukul 11. 58, Tak terasa kumandang adzan dzuhur di Masjid Fethullah pun memanggil kami untuk segera melaksanakan kewajiban Sholat. Lima belas menit kemudian kami putuskan untuk bersantai sejenak di serambi masjid Fethullah. angin yang semilir menjadikan suasana saat itu begitu damai bak di Istana Raja.

Di sebelah kami terdapat  empat orang mahasiswa yang sedang bersanda gurau. Kami pun ikut nimbrung dan ngobrol bersama mereka. Ketika ditanya apakah mereka sering membaca buku dan berkunjung ke Toko buku,  jawaban dari mereka mengindikasikan bahwa , mahasiswa sekarang cenderung lebih suka browsing di internet ketimbang mengunjungi Toko Buku.
‘’ gue baca buku paling kalao lagi mod aja atau ga kalo ada tugas kuliah. ke Toko Buku jarang sih palingan gue cari bukunya ke PU, kalo gak ada di PU yaudah Browsing di internet aja’’ jelas Arif  (24 th)  mahasiswa asal Bandar Lampung.
‘’gue lebih suka baca koran ketimbang baca buku, sekarang aja gue langganan Koran Kompas setiap harinya, selama jadi mahasiswa bisa di itung kali gue ke toko buku, lebih praktis mending kite cari di internet aja’’ tambah sechabudin (24 th) sambil menyeruput es teh pocinya.

Lima belas menit kemudian, penjelajahan kami lanjutkan ke Toko buku Mizan. Toko yang terletak di lantai dua Bank Mandiri kampus satu UIN  ini, mulai dibuka pada tahun 2010. Suplai buku di Toko ini langsung dari Penerbit Mizan dan penerbit lainnya yang mengadakan kerja sama dengan Mizan. Toko Mizan sendiri terbilang cukup mendapat perhatian dari mahasiswa.
 “Pada awal kemunculanya jumlah mahasiswa yang berkunjung ke sana terbilang cukup banyak dalam sehari minimal 25 sampai 30 orang, hingga sekarang pun masih sama, ungkap M.Nur (26 th) salah seorang karyawan dari Toko Mizan.

Sebagai Toko buku yang terbilang masih baru ini, keberadaan Toko buku Mizan sendiri boleh dibilang cukup sukses. Menurut  mas Nur,  Keberadaan E-Book baginya tidak terlalu dikhawatirkan, dia hanya berpesan untuk para mahasiwa agar lebih jeli lagi dalam memilih buku yang ingin dijadikan  referensi.
 ‘’Saya hanya berpesan buat para mahasiswa agar bersifat lebih bijak didalam membeli buku, cobalah umenghargai karya orang lain jangan membeli yang bajakan’’ jelas pria berkulit sawo matang itu.
Selain Toko buku, Bazar buku ternyata  juga memliki peran penting bagi mahasiswa dalam mencari buku. untuk membeli buku murah mereka tak perlu harus pergi keluar lingkungan kampus. Kampus UIN sendiri tak pernah sepi didatangi para pengusaha Bazar buku. Setiap harinya selalu saja ada Bazar Buku di Studen Center  (SC).

Salah satu pengusaha Bazar buku bernama Slamet (30 Th). Pria ramah yang membuka Bazarnya Pukul 9.00 ini menceritakan, pertama kali membuka Bazar dia harus meminta izin dahulu kepada Rektorat, namun untuk tahun - tahun berikutnya dia hanya  membayar uang sewa kepada pengelola SC  saja.

Bang slamet memulai usaha Bazar buku pada tahun 2007, kampus adalah pasar utama bagi Bazar buku yang dikelolanya. Hampir semua kampus besar di Jakarta pernah dikunjungi bang Salamet termasuk UI, UNJ, Trisakti, dan UIN sendiri. Buku buku yang dijualnya disuplai dari beberapa penerbit. Dalam setahun dia membuka Bazar di UIN dua kali, biasanya beliau menjual buku dari 20 penerbit, namun kali ini dia hanya membawa buku dari 15 penerbit saja. Diantara penerbit itu ada dari L-Kis, Gramedia, Komunitas Bambu, dan masih banyak yang lainnya.

Hampir sama seperti Toko buku, menurut bang Slamet kunjungan Mahasiswa sekarang tak seramai seperti dahulu. Obat sabar menjadi suntikan agar dia bisa tetap bertahan menggeluti usahanya tersebut.
‘’ya mas, dulu mah mahasiswa lumayan banyak yang berkunjung, kalau sekarang ga sebanyak kaya dulu. namanya orang usaha kita kudu konsisten dan sabar karena selain tunjuannya jual buku sebernarnya saya juga punya niat untuk mencerdaskan bangsa, saya mah ga banyak ambil untung,’’ terang Pria betubuh kurus ini.
Untuk memancing pengunjung, bang Slamet selalu memberikan diskon. Harga buku termurah yang dijualnya adalah 5000 rupiah.
‘’dari diskon tiga puluh persen, lima belas persennya buat distributor, sepuluh persen buat bayar sewa tempat, dan buat saya lima persen. Jadi, kalo bukunya harganya sepuluh ribu saya cuman dapat lima ratus perak’’, tuturnya.

Menurut bang Slamet, gairah minat baca sekarang benar – benar menurun drastis. Dia merasa beruntung meskipun dirinya tak pernah kuliah namun, dia selalu membaca buku setiap harinya.
Lama – lama Hp saya berdenting. Ada sms masuk. ‘’mas, jadi ketemu di pondok ? saya tunggu jam empat ya’’ bunyi sms dari bang Tyon (35 th), mantan pemilik Toko Buku gerak gerik. Toko Buku Gerak – gerik merupakan salah satu Toko buku disekitar UIN yang sudah tutup tahun 2012 silam. ‘’oke bang kami ke sana, nanti saya sms lagi,’’ jawab saya singkat.

Langit  terlihat redup, nampaknya hujan akan segera turun. dengan dua buah sepeda motor kami pun menuju Pondok Pesantren Al Inayah, Pamulang. Kami berencana ingin menanyakan seklumit tentang Toko Buku Gerak – gerik pada bang Tyon. Tepat pukul 16. 05 kami pun sampai di lokasi. Bang Tyon membawa kami ke dalam sebuah ruangan kelas.

Dengan semangat, bang Tyon menceritakan secara terperinci tentang perjalanan Toko Buku Gerak gerik. Tahun 1996 - 1999 merupakan masa yang krusial bagi bangsa ini, dimana Orde baru tumbang dan digantikan oleh Reformasi. Kala itu, mahasiswa sangat kritis terhadap keadaan yang melanda bangsa ini. Aktivis dan kelompok diskusi saat itu benar benar ramai. Bang Tyon adalah salah satu aktifis saat itu.

Bagi para aktivis, buku saat itu adalah senjata ampuh untuk melawan orde baru. Minat baca mahasiswa begitu tinggi, membaca merupakan sebuah kewajiban bagi mahasiswa. Buku – buku yang ketika era ORBA dilarang beredar, di era reformasi tepatnya dari tahun 1999 – 2005 bermunculan dengan tidak terkontrol bak air bah.

Mengikuti jejak  Muhamad rasulullah, bang Tyon memulai usaha berdagang. Pria yang selama menjadi mahasiswa aktif di UKM Ranita ini pernah menjual peralatan mendagki gunung, hingga akhirnya menjual buku pada tahun 2003.
‘’saya berdagang terinspirasi dari rasul yang juga seorang pedagang. tahun 2003 saya ketemu temen namannya mujib, saaat itu dia menawarkan menjual buku -  buku pergerakan. Pertama dagang dulu didepan gang gecil yang buat  masuk ke  uin tuh di pesanggrahan. Mahasiswa dulu senang berkompetisi dengan ilmu. Senang dengan aktivis/pergerakan,’’ ujar pria yang sekarang ini menjadi ustad di Ponpes Al Inayah, pamulang.

Dinamakan Toko Buku Gerak – gerik, karena pada awal menjual buku, bang Tyon selalu hijrah dari satu daerah ke daerah lain.
‘’ pertama jual buku dulu kemana mana, ngelapak ke berbagai kampus  sampai ke berbagai daerah. Untung ga papa sedikit yang penting orang bisa baca dan saya bisa jalan jalan,’’ cetus bang Tyon sambil ketawa.

Enam bulan berjalan, temannya sesama aktifis, bernama Andi K  menawarkan kiosnya di Pesanggrahan. Bang Tyon dan temannya yang bernama Abdul Hakim pun menggunakan kios tersebut. Kios yang dulunya sebuah kafe ini mereka ubah menjadi Toko Buku bernama Geraki – gerik. Buku – buku yang dijual di  Toko ini bermacam – macam ada sastra, politik, filsafat, agama dll.

Menariknya, meskipun bentuk rupanya adalah sebuah Toko buku, namun Gerak – gerik tak ubahnya adalah sebuah tempat berkumpulnya komunitas pergerakan. pada masanya, beberapa pembicara kondang penah didatangkan ke Gerak – gerik seperti Romo Frans Suseno dan Pramoediya Anantoer. Karena basisnya komunitas, maka yang beli buku di sana pun banyak yang ngutang.
‘’ saya ini seorang aktifis orang – orang kecil, saya gak peduli orang mau ngutang atau gak yang penting semua orang bisa membaca buku. Saya sangat senang sekali kalau orang mau membaca buku. Bahkan, dulu pernah ada ibu – ibu mau beli buku tapi gak punya uang akhirnya dia minta foto copy beberapa halaman, ya sudah saya kasih. Toko buku mana coba yang mau bukunya cuman di Foto copy,’’ tuturnya dengan aksen pak Ustad; memakai peci, baju koko putih, dan kain sarung kotak kotak.

Bagi bang Tyon tujuannya menjual buku adalah agar semua orang bisa membaca, oleh karena itu disamping menjual buku di gerak – gerik, bersama rekan aktifisnya ia  pernah mendirikan taman bacaan di berbagai daerah seperti di Aceh, Padang, Bandung, Jogjakarta, dan Surabaya.
Dia tidak memperdulikan akan pendapatan yang didapatkannya. Berjalan lima tahun akhirnya Toko Gera- gerik jeblok juga. Menanggulangi hal tersebut dia pun beralih menjual buku – buku bekas yang masih asli, namun diakui bang Tyion, kala itu kelompok – kelompok diskusi sudah surut, selera mahasiswa akan buku sudah beragam, mahasiswa beli buku karena tuntutan dari dosen bukan karena kesukaan, ditambah lagi ada internet.
‘’2007 Toko Gerak gerik udah mulai jeblok. Buat gaji karyawan saat itu pun susah. Kelompok diskusi udah surut, mahasiswa udah gak kritis lagi seperti dulu, Selera baca mahasiswa dah beragam, mahasiswa beli buku karena tuntutan dari dosen gak kaya dulu mahasiswa tuh beli buku benar benar karena dia itu suka, bahkan mereka itu lama meihat – lihat buku sebelum membelinya dan dibelain harus ngutang, ‘’ imbuhnya.

Di tahun 2009 Toko Buku Gerak- gerik sudah mulai akan karam, puncaknya pada tahun 2012 dengan resmi bang Tyon pun menutup Toko Buku yang dikelolanya selama Sembilan tahun itu.
Mega merah sudah muncul, para santri di pesantren itu mulai berduyun – duyun menuju ke Masjid, tak terkecuali kami dan Bang Tyon. selepas magrib gerimis kecil pun mengiringi kepulangan kami menuju rumah masing – masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar