‘’Rud, gue mau beli buku sejarah
peradaban islam karya Badriyatin nih, anterin gue ke Kwitang yuuk !’’
‘’Hakim, lu mau
beli buku ke Kwitang ???, ga usah jauh - jauh Kim, disekitar kampus kita juga
banyak toko buku, mending kita datengin Toko – toko itu, siapa tahu aja banyak
yang ngasih diskon.’’
‘’oh
gitu, yaudah kalo begitu anterin gue yuuk, daripada ke Kwitang kan nghabisin
ongkos doank.’’
‘’oke
bisa diatur hehe.’’
Begitulah,
Dialog dua orang Mahasiwa semester pertama Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah
(UIN) Jakarta.
Diantara mereka ada yang ingin membeli sebuah buku Sejarah islam karya
Badriyatim, kemudian temannya memberi tahu, kalau ingin membeli buku, tak usah
jauh – jauh ke Kwitang, di sekitar kampus UIN pun terdapat banyak Toko Buku.
Kampus
UIN Syarif Hidayutullah merupakan salah satu Universitas di Indonesia yang
memiliki sejarah panjang. Kampus yang yang terletak di Ciputat ini, mulai
dirintis berawal dari kebutuhan stok guru yang melanda Departemen Agama (DEPAG)
pada tahun 1950 -an. Atas dasar itulah kemudian DEPAG meresmikan berdirinya
ADIA (Akademi Dinas Agama) pada 1 Juni 1957.
Melalui
peraturan Presiden No 11 tahun 1960 bertepatan 24 Agustus 1940, ADIA Jakarta
dan PTAIN Jogja dintegrasikan didalam satu wadah bernama Intitut Agama Islam
Negeri (IAIN). dengan begitu nama ADIA pun diubah menjadi IAIN.
IAIN diresmikan oleh Menteri Agama di Gedung
kepatihan Jogjakarta, sejak saat itulah Indonesia memiliki dua Perguruan Tinggi
Islam, yakni IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan IAIN Sunan Kali jaga
Jogjakarta.
Seiring
berjalannya waktu, melalui surat keputusan bersama (SKB) antara Menteri Pendidikan Nasional No 4/U/KB/2001
dan Menteri Agama No 500/2001. kemudian Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Dirjen keuangan RI No S-490/MK-2/2002, Presiden mengeluarkan surat
keputusan NO 031 pertanggal 20 Mai tahun 2002 yang isinya, secara resmi IAIN di
Jakarta berganti nama menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Maka, sejak saat itulah kampus itu
lebih dikenal dengan nama UIN hingga sekarang.
Keberadaan
Kampus UIN sendiri sedianya merupakan ladang emas bagi para pengusaha Toko
Buku, walhasil dari dahulu hingga sekarang Toko buku pun banyak bermunculan di sekitar
UIN.
Toko
Buku di sekitar UIN nampaknya cukup berperan bagi Mahasiswa, terutama bagi
mereka yang ingin mencari sumber refrensi. Namun, sangat disayangkan keberadaan
Toko buku tersebut sekarang ini sudah tidak se ramai dulu.
Jumlah
Toko buku disekitar UIN kini telah
berkurang. Lalu, apakah penyebab berkururangnya toko buku tersebut ?
Prof.
Azyumardi Azra (60 Th), Guru besar Uin Syarif Hidayatullah Jakarta menuturkan
kalau keberadaan Toko buku disekitar UIN sekarang ini tidak berkembang secara
Signifikan. Dahulu ketika beliau menjadi mahasiswa, tepatnya tahun 1976, Toko
buku hanya ada di tempat yang
sekarang ini menjadi Gedung Wisma
Usaha. Banyak mahasiswa yang berkunjung
ke Toko buku tersebut. Kala itu, Gairah mahasiswa berdiskusi begitu hidup,
untuk itu mereka pun sering membeli buku sebagai pegangan berdiskusi.
Dalam
perkembangannya, setahu Prof Azyumardi Azra
di tahun 80-an hingga 90-an salah satu Toko buku yang paling menonjol
dan diminati oleh mahasiswa adalah Toko Buku Batu Bara.
‘’Dulu
Mahasiswa di UIN ini sering mengadakan diskusi. kelompok diskusi selalu ada di
pojok – pojok kampus, setiap mahasiswa yang ikut diskusi harus membaca buku
kalau ga, dia akan merasa malu. untuk itu lah mereka sering pergi ke toko buku,’’
tutur Profesor yang sekarang ini menjabat Direktur Utama Pasca Sarjana UIN.
‘’Salah
satu Toko buku yang ada itu di gedung yang sekarang ini menjadi gedung Wisma
Usaha. di tahun 80-an hingga
90-an ada Toko Buku Batu bara, mahasiswa banyak yang berkunjung ke sana,’’
imbuhnya.
Beliau
juga menambahkan bahwa berkurangnya kunjungan mahasiwa ke Toko buku di masa
sekarang ini disebabkan karena sifat manja dan hidup makmur yang dirasakan oleh
mahasiswa, kelompok diskusi mahasiswa
juga tak sehidup seperti masa dulu, selain itu adanya internet juga
merupakan factor lain yang menyebabkan mahasiswa malas ke toko buku.
‘’sekarang
itu kelompok diskusi mahasiswa tak seramai dulu, mahasiswa sekarang itu sudah
lebih makmur dibanding mahasiswa dulu, dulu masiswa tuh jalan kaki, tidak ada
yang naik motor atau pun mobil. Satu kampus mungkin hanya ada satu mahasiswa
yang bawa mobil, itu pun mobil tua yang harus dipanaskan dulu sebelum
dinyalakan,’’ papar sang Profesor sambil tersenyum.
‘’karena
sudah makmur mahasiswa menjadi manja, dampaknya pun mereka malas pergi ke Toko
buku atau pun membaca buku. Internet nampaknya merupakan salah satu factor
penyebab sedikitnya mahasiswa ke Toko buku, dengan internet sekarang ini
mahasiswa bisa dengan mudah mengakses buku – buku online’’ tambah Pria kelahiran Lubuk Pakam, Pariaman 60 tahun silam itu.
Hari
ini cuaca begitu cerah, seorang teman saya sudah menunggu di halte UIN, kami
memiliki niatan untuk melakukan kunjungan ke beberapa Toko buku yang ada di
sekitar UIN. Toko Buku Batu Bara adalah tujuan kami
yang pertama, Kami pun pergi ke Jalan Ibnu
Batutah, sebuah Jalan dimana Toko tersebut berada.
Begitu
memasuki Toko, Dua karyawan berbaju hijau dengan ramah menyapa kami, interior
dari Toko buku ini terkesan cukup sederhana. Buku - buku begitu tersusun rapi
didalam raknya. Karena waktu masih menujukan pukul 9. 30, keadaan pengunjung
pun boleh dibilang masih sepi. Terlihat hanya ada satu orang mahasiswa yang
sedang memilih – milih buku.
Toko buku yang
dikelola oleh Ibu Mahmudah ini merupakan
salah satu Toko buku yang sudah lama ada di sekitar Kampus UIN. Pada
tahun 1985,
Bapak Syafi’i
suami dari Ibu Mahmudah secara resmi mengambil alih
kepemilikan Toko Buku tersebut
dari pemilik sebelumnya,
Kol. Batu Bara.
Di Toko Buku
Batu Bara diskon harga buku merupakan senjata utama untuk menarik datangnya
pengunjung terutama mahasiswa. setiap harinya toko ini tak pernah sepi dari
kunjungan mahasiswa. Untuk memenuhi
kebutuhan mahasiswa, Toko ini menyediakan berbagai jenis buku mulai dari buku Agama,
Humaniora, Sains, Filsafat, Sastra , dan Ekonomi.
‘’aku
sering beli buku di sini, di sini harganya murah, buku yang kita beli sekalian
disampul sama abang abangnya, dah gitu kita juga bisa mesen buku jika, buku yang kita cari ga ada di sini,’’
ujar Lidya (22 th), salah seorang mahasiswi yang berkunjung ke sana.
Dari
tahun 1985 hingga tahun 2000, Toko Buku Batu bara mengalami perkembangan yang
luar biasa. Pada era tersebut Toko ini bisa dikatakan merupakan tempat membeli
buku terfavorit bagi mahasiswa. Di era sekarang kunjungan masiswa ke Toko ini
masih cukup lumayan, meskipun presentasinya tak sebanyak dulu.
’’mulai tahun 1985 hingga tahun 2000 perkembangan Toko Buku Batu
bara cukup luar biasa ya mas, bisa dikatakan toko ini
merupakan toko favorit lah bagi mahasiswa, Setiap harinya toko ini selalu ramai
dikunjungi mahasiswa.
Tahun 2000 sampai sekarang kan internet dah mulai
banyak tuh mas, semenjak itu kunjungan mahsiswa sedikit agak menurun,’’ tutur
Doi (30 Th), salah
satu karyawan di Toko Buku tersebut.
“Sebenarnya kami
tidak terlalu khawatir dengan keberadaan internet yang secara tidak langsung mengurangi kunjungan
mahasiswa kesini. dengan diskon buku, ternyata masih cukup menarik perhatian
pengunjung terutama mahasiswa untuk berkunjung ke sini,” terang pria berambut belah pinggir tersebut.
Sekarang
ini, Internet bisa dikatakan menjadi
penyebab menurunnya animo mahasiswa untuk berkunjung ke Toko buku.
Dengan internet mahasiswa dapat dengan mudah mengakses segala macam buku online
ataupun mendownload Journal.
Melepas
dahaga, sejenak kami pun membeli Es kelapa muda di kios sebelah Toko Buku Batu
bara. Perjalanan kami lanjutkan ke sekitaran Masjid Fethullah. Di sekitaran
bangunan yang didirikan oleh lembaga pendidikan Turki, ‘’Fethullah Gulen
Chair’’ ini terdapat banyak sekali kios dagang. Diantara kios dagang itu
terdapat satu Toko Buku bernama Barokah. dengan bergegas kami pun memasuki Toko
Buku tersebut.
Adalah
Muhamad Abduh (33th), sang pemilik Toko Buku Barokah. Alumni
Fakultas Syariah tahun 2004 ini memulai
usaha Toko Bukunya pada tahun 2001,
saat itu dia masih menjadi Mahasiswa semester dua. Semangatnya untuk menjual
buku didasari prinsip bahwa seorang mahasiswa harus bisa berwirausaha. dengan
begitu, mahasiswa bisa mengerti akan arti hidup yang sebenarnya.
‘’tahun
2000 saya mahsiswa jurusan muamalah perbankan syariah, saya berfikir kalau saya
harus bisa cari uang sendiri, dengan sedikit modal akhirnya di tahun 2001 saya
mulai merintis nih Toko Buku Barokah,’’ tutur Pria berbadan tambun itu.
ketika
masa awal merintis menurutnya, kesulitan yang dihadapi ialah sepinya
Mahasiswa yang berkunjung ke tokonya,
terlebih lagi ketika liburan semester telah tiba.
Baginya, konsisten dan sabar
itulah kunci kenapa toko buku yang dikelolanya
masih bisa bertahan sampai saat
ini.
Sebagai sebuah
Toko Buku, Toko Buku Barokah akhirnya mulai berkembang pada tahun 2004 hingga
sekarang. Pada tahun 2004 penghasilan
yang ia dapatkan adalah Rp 1. 000. 000 per hari, namun sekarang ia bisa
mendapatkan Rp 3. 000. 000 seharinya.
Menurut
Bapak Abduh, kunjungan Mahasiswa ke Tokonya sekarang ini masih sama seperti
dahulu. Namun, karena setiap tahun
jumlah Mahasiswa UIN makin bertambah, jika dilihat dari presentasinya
bisa dikatakan mahasiswa yang berkunjung menjadi terlihat sedikit.
‘’dulu
pas tahun 2004 satu juta sih dapet sehari, kalo sekarang bisa dapet tiga jutaan
seharinya, itu juga kan harga buku dulu sama sekarang kan beda, kalo di itung
itung sama aja sih, ya namanya orang usaha yang penting kita sabar dan konsisten
aja’’ tambah bapak berjenggot tipis ini sambil ketawa.
Dalam masalah suplai buku, Toko-toko Buku disekitar
UIN tak pernah kekurangan jumlah buku.
Kebanyakan buku-buku tersebut disuplai langsung dari daerah Senen dan juga
penerbitnya sendiri. Daerah senen merupakan salah satu surga buku yang ada di
Jakarta.
Jam di Hp ku
menunjukan pukul 11. 58, Tak terasa kumandang adzan dzuhur di Masjid Fethullah
pun memanggil kami untuk segera melaksanakan kewajiban Sholat. Lima belas menit
kemudian kami putuskan untuk bersantai sejenak di serambi masjid Fethullah. angin yang
semilir menjadikan suasana saat itu begitu damai bak di Istana Raja.
Di
sebelah kami terdapat empat orang mahasiswa yang sedang bersanda gurau. Kami pun ikut nimbrung
dan ngobrol bersama mereka. Ketika ditanya apakah mereka sering membaca buku
dan berkunjung ke Toko buku, jawaban
dari mereka mengindikasikan bahwa , mahasiswa sekarang cenderung lebih suka
browsing di internet ketimbang mengunjungi Toko Buku.
‘’
gue baca buku paling kalao lagi mod aja atau ga kalo ada tugas kuliah. ke Toko
Buku jarang sih palingan gue cari bukunya ke PU, kalo gak ada di PU yaudah
Browsing di internet aja’’ jelas Arif (24
th) mahasiswa asal Bandar Lampung.
‘’gue
lebih suka baca koran ketimbang baca buku, sekarang aja gue langganan Koran
Kompas setiap harinya, selama jadi mahasiswa bisa di itung kali gue ke toko
buku, lebih praktis mending kite cari di internet aja’’ tambah sechabudin (24
th) sambil menyeruput es teh pocinya.
Lima
belas menit kemudian, penjelajahan kami lanjutkan ke Toko buku Mizan.
Toko yang terletak
di lantai dua Bank Mandiri kampus
satu UIN ini,
mulai dibuka pada tahun 2010. Suplai buku di Toko ini langsung dari Penerbit Mizan
dan penerbit lainnya yang mengadakan kerja sama dengan Mizan. Toko Mizan
sendiri terbilang cukup mendapat perhatian dari mahasiswa.
“Pada awal kemunculanya jumlah mahasiswa yang
berkunjung ke sana terbilang
cukup banyak dalam sehari minimal 25 sampai 30 orang, hingga sekarang pun masih sama,” ungkap M.Nur (26 th) salah seorang karyawan dari Toko Mizan.
Sebagai Toko buku yang terbilang masih baru ini, keberadaan Toko buku Mizan sendiri
boleh dibilang cukup sukses. Menurut mas
Nur, Keberadaan E-Book baginya tidak
terlalu dikhawatirkan, dia hanya berpesan untuk para mahasiwa agar lebih jeli
lagi dalam memilih buku yang ingin dijadikan
referensi.
‘’Saya
hanya berpesan buat para mahasiswa agar bersifat lebih bijak didalam membeli
buku, cobalah umenghargai
karya orang lain jangan membeli yang bajakan’’ jelas pria berkulit sawo matang itu.
Selain Toko
buku, Bazar buku ternyata juga memliki
peran penting bagi mahasiswa dalam mencari buku. untuk membeli buku murah
mereka tak perlu harus pergi keluar lingkungan kampus. Kampus UIN sendiri tak pernah sepi didatangi para
pengusaha Bazar buku. Setiap harinya selalu saja ada Bazar Buku di Studen
Center (SC).
Salah
satu pengusaha Bazar buku bernama Slamet (30 Th). Pria ramah yang membuka
Bazarnya Pukul 9.00 ini menceritakan, pertama kali membuka Bazar dia harus
meminta izin dahulu kepada Rektorat, namun untuk tahun - tahun berikutnya dia
hanya membayar uang sewa kepada
pengelola SC saja.
Bang
slamet memulai usaha Bazar buku pada tahun 2007, kampus adalah pasar utama bagi
Bazar buku yang dikelolanya. Hampir semua kampus besar di Jakarta pernah
dikunjungi bang Salamet termasuk UI, UNJ, Trisakti, dan UIN sendiri. Buku buku
yang dijualnya disuplai dari beberapa penerbit. Dalam setahun dia membuka Bazar
di UIN dua kali, biasanya beliau menjual buku dari 20 penerbit, namun kali ini
dia hanya membawa buku dari 15 penerbit saja. Diantara penerbit itu ada dari
L-Kis, Gramedia, Komunitas Bambu, dan masih banyak yang lainnya.
Hampir
sama seperti Toko buku, menurut bang Slamet kunjungan Mahasiswa sekarang tak
seramai seperti dahulu. Obat sabar menjadi suntikan agar dia bisa tetap
bertahan menggeluti usahanya tersebut.
‘’ya
mas, dulu mah mahasiswa lumayan banyak yang berkunjung, kalau sekarang ga
sebanyak kaya dulu. namanya orang usaha kita kudu konsisten dan sabar karena
selain tunjuannya jual buku sebernarnya saya juga punya niat untuk mencerdaskan
bangsa, saya mah ga banyak ambil untung,’’ terang Pria betubuh kurus ini.
Untuk
memancing pengunjung, bang Slamet selalu memberikan diskon. Harga buku termurah
yang dijualnya adalah 5000 rupiah.
‘’dari
diskon tiga puluh persen, lima belas persennya buat distributor, sepuluh persen
buat bayar sewa tempat, dan buat saya lima persen. Jadi, kalo bukunya harganya
sepuluh ribu saya cuman dapat lima ratus perak’’, tuturnya.
Menurut
bang Slamet, gairah minat baca sekarang benar – benar menurun drastis. Dia
merasa beruntung meskipun dirinya tak pernah kuliah namun, dia selalu membaca
buku setiap harinya.
Lama
– lama Hp saya berdenting. Ada sms masuk. ‘’mas, jadi ketemu di pondok ? saya
tunggu jam empat ya’’ bunyi sms dari bang Tyon (35 th), mantan pemilik Toko
Buku gerak gerik. Toko Buku Gerak – gerik merupakan salah satu Toko buku
disekitar UIN yang sudah tutup tahun 2012 silam. ‘’oke bang kami ke sana, nanti
saya sms lagi,’’ jawab saya singkat.
Langit terlihat redup, nampaknya hujan akan segera
turun. dengan dua buah sepeda motor kami pun menuju Pondok Pesantren Al Inayah,
Pamulang. Kami berencana ingin menanyakan seklumit tentang Toko Buku Gerak –
gerik pada bang Tyon. Tepat pukul 16. 05 kami pun sampai di lokasi. Bang Tyon
membawa kami ke dalam sebuah ruangan kelas.
Dengan
semangat, bang Tyon menceritakan secara terperinci tentang perjalanan Toko Buku
Gerak gerik. Tahun 1996 - 1999 merupakan masa yang krusial bagi bangsa ini,
dimana Orde baru tumbang dan digantikan oleh Reformasi. Kala itu, mahasiswa
sangat kritis terhadap keadaan yang melanda bangsa ini. Aktivis dan kelompok
diskusi saat itu benar benar ramai. Bang Tyon adalah salah satu aktifis saat
itu.
Bagi
para aktivis, buku saat itu adalah senjata ampuh untuk melawan orde baru. Minat
baca mahasiswa begitu tinggi, membaca merupakan sebuah kewajiban bagi
mahasiswa. Buku – buku yang ketika era ORBA dilarang beredar, di era reformasi
tepatnya dari tahun 1999 – 2005 bermunculan dengan tidak terkontrol bak air
bah.
Mengikuti
jejak Muhamad rasulullah, bang Tyon memulai usaha berdagang. Pria yang selama menjadi
mahasiswa aktif di UKM Ranita ini pernah menjual peralatan mendagki gunung,
hingga akhirnya menjual buku pada tahun 2003.
‘’saya
berdagang terinspirasi dari rasul yang juga seorang pedagang. tahun 2003 saya
ketemu temen namannya mujib, saaat itu dia menawarkan menjual buku - buku pergerakan. Pertama dagang dulu didepan
gang gecil yang buat masuk ke uin tuh di pesanggrahan. Mahasiswa dulu
senang berkompetisi dengan ilmu. Senang dengan aktivis/pergerakan,’’ ujar pria
yang sekarang ini menjadi ustad di Ponpes Al Inayah, pamulang.
Dinamakan
Toko Buku Gerak – gerik, karena pada awal menjual buku, bang Tyon selalu hijrah
dari satu daerah ke daerah lain.
‘’
pertama jual buku dulu kemana mana, ngelapak ke berbagai kampus sampai ke berbagai daerah. Untung ga papa
sedikit yang penting orang bisa baca dan saya bisa jalan jalan,’’ cetus bang
Tyon sambil ketawa.
Enam
bulan berjalan, temannya sesama aktifis, bernama Andi K menawarkan kiosnya di Pesanggrahan. Bang Tyon
dan temannya yang bernama Abdul Hakim pun menggunakan kios tersebut. Kios yang
dulunya sebuah kafe ini mereka ubah menjadi Toko Buku bernama Geraki – gerik.
Buku – buku yang dijual di Toko ini
bermacam – macam ada sastra, politik, filsafat, agama dll.
Menariknya,
meskipun bentuk rupanya adalah sebuah Toko buku, namun Gerak – gerik tak
ubahnya adalah sebuah tempat berkumpulnya komunitas pergerakan. pada masanya, beberapa
pembicara kondang penah didatangkan ke Gerak – gerik seperti Romo Frans Suseno
dan Pramoediya Anantoer. Karena basisnya komunitas, maka yang beli buku di sana
pun banyak yang ngutang.
‘’
saya ini seorang aktifis orang – orang kecil, saya gak peduli orang mau ngutang
atau gak yang penting semua orang bisa membaca buku. Saya sangat senang sekali
kalau orang mau membaca buku. Bahkan, dulu pernah ada ibu – ibu mau beli buku
tapi gak punya uang akhirnya dia minta foto copy beberapa halaman, ya sudah
saya kasih. Toko buku mana coba yang mau bukunya cuman di Foto copy,’’ tuturnya
dengan aksen pak Ustad; memakai peci, baju koko putih, dan kain sarung kotak
kotak.
Bagi
bang Tyon tujuannya menjual buku adalah agar semua orang bisa membaca, oleh
karena itu disamping menjual buku di gerak – gerik, bersama rekan aktifisnya
ia pernah mendirikan taman bacaan di
berbagai daerah seperti di Aceh, Padang, Bandung, Jogjakarta, dan Surabaya.
Dia
tidak memperdulikan akan pendapatan yang didapatkannya. Berjalan lima tahun
akhirnya Toko Gera- gerik jeblok juga. Menanggulangi hal tersebut dia pun beralih menjual
buku – buku bekas yang masih asli, namun diakui bang Tyion, kala itu kelompok –
kelompok diskusi sudah surut, selera mahasiswa akan buku sudah beragam, mahasiswa
beli buku karena tuntutan dari dosen bukan karena kesukaan, ditambah lagi ada
internet.
‘’2007
Toko Gerak gerik udah mulai jeblok. Buat gaji karyawan saat itu pun susah.
Kelompok diskusi udah surut, mahasiswa udah gak kritis lagi seperti dulu,
Selera baca mahasiswa dah beragam, mahasiswa beli buku karena tuntutan dari
dosen gak kaya dulu mahasiswa tuh beli buku benar benar karena dia itu suka,
bahkan mereka itu lama meihat – lihat buku sebelum membelinya dan dibelain
harus ngutang, ‘’ imbuhnya.
Di
tahun 2009 Toko Buku Gerak- gerik sudah mulai akan karam, puncaknya pada tahun
2012 dengan resmi bang Tyon pun menutup Toko Buku yang dikelolanya selama
Sembilan tahun itu.
Mega
merah sudah muncul, para santri di pesantren itu mulai berduyun – duyun menuju
ke Masjid, tak terkecuali kami dan Bang Tyon. selepas magrib gerimis kecil pun
mengiringi kepulangan kami menuju rumah masing – masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar