AHMAD KHOERUL MIZAN
(ANAK CONDET CITA RASA TEGAL)
Namanya Ahmad Khoerul Mizan. seorang laki laki dari Desa Gunungg Agung, sebuah Desa di Kecamatan Bumi Jawa, Tegal, Jawa Tegah. Bulan Mei lalu dia genap berumur 22 tahun, saya bertemu dia di rumahnya, daerah Condet Kramat jati, Jakarta Timur.
Saya memanggilnya ‘’Mizan’’. Dia seorang Mahasiswa jurusan
Sejarah di kampus UIN Jakarta. Ketika menemuinya , dia baru pulang mengajar
dari sebuah TPA (Taman Pendidikan Al
qur’an) yang tak jauh dari rumahnya di Condet.
Mizan adalah sosok yang mudah diajak berbicara, hal yang
paling disukainya ketika berbicara adalah tentang sepak bola dan sejarah. Meskipun
pengetahuan sepak bola dan sejarahnya belum luas.
‘’dulu waktu saya umur 5 th disini masih banyak pohon Salak
sama dukuh condet, meskipun gak sebanyak waktu jamannya Ali Sadikin. sejarahnya, waktu jamannya Ali Sadikin, condet tuh dulu mau dijadiin
cagar alam dan budaya Betawi tapi sayangnya ga pernah teralisasi,’’ jelas si
Mizan.
Mizan dan kedua orang tuanya sudah lama tinggal di Condet.
Kedua orang tuanya merupakan kaum urban yang datang dari Tegal. Bapaknya yang
bernama Slamet menginjakan kakinya di Condet pada tahun 1982. Slamet merupakan
cucu dari Tarwan, seorang petani miskin yang untuk makan pun harus hutang sana- sini.
Meskipun bisa di cap Tarwan adalah orang miskin, namun dia masih sempat
memondokan anaknya yang bernama Sakam Sanusi ke sebuah pesantren di Kali Wungu,
Kendal-Jawa Tengah. Sepulang dari pesantren Sakam Sanusi pun menikah dengah Rufi
dan dikaruniai empat putra dan satu putri. Putra-putri tersebut bernama Suwarno,
Sayudi, Samsuri, Tamjid, dan Sumirah.
Suwarno atau yang kerap di sapa ''Warno'' putra tertua Sakam, sejak kecil sudah diajarkan bertani.
walhasil ketika besar pun dia telah lihai didalam memainkan cangkul, meskipun
di sawah milik orang lain. Warno remaja harus menghadapi huru hara di Desanya, hal itu disebabkan oleh
pembrontakan Darul Islam (DI) tahun 1950.
Tahun 1948, desa gunung Agung dijadikan tempat persembunyian dan pelatihan
tentara DI pimpinan Amir Fatah di Tegal. Amir Fatah sendiri bermarkas di Lebak Siu.
Pada mulanya kehadiran tentara DI tersebut tidak
menghadapi kendala dari masyarakat sekitar. subuh hari mereka
mengajarkan pengajian agama kepada
masyarakat di mushola – mushola, sore harinya mereka latihan militer, dan malam
harinya mengadakan patroli mengitari desa. Letaknya yang di himpit hutan dan
perbukitan Gunung Slamet menjadikan Desa
Gunung Agung tempat yang strategis untuk persembunyian tentara DI.
Tahun 1950, Keadan begitu berubah ketika Tentara Republik Indonesia (TRI) mengetahui persebunyian tentara DI di Desa Gunung Agung. Sikap Tentara DI pun berubah, mereka mulai melakukan penjarahan terhadap rumah rumah warga. Mereka merampas beras, lauk-pauk, dan hewan ternak milik warga. Terkadang warga pun menjadi korban salah tembak dan tangkap TRI karena, dikira anggota DI.
Warno yang saat itu berusia 15 tahun bersama pemuda
desa ikut membantu pasukanTRI. Setiap
hari Warno dan kawan-kawannya pun harus begadang mengamankan desa. Warno pernah dihajar oleh tentara
TRI yang bernama Darusman karena dituduh mata-matanya DI. Akan tetapi,
nyawanya tertolong karena temanya yang bernama Daslan memberitahu Darusman kalau
Warno bukan mata-mata DI.
Kegiatan begadang malam tersebut terus dilakukan hingga
akhirnya TRI dibawah pimpinan Letkol Sarbini, dengan Gerakan Banteng Negaranya
berhasil menumpas DI/TII pimpinan Amir Fatah di Tegal.
Sekitar tahun 1965
Warno menikahi seorang wanita cantik bernama Sedah. Berbekal sebagai kuli sawah Warno dan sedah pun mulai
mengarungi kehidupan baru. satu tahun berselang lahir lah selamet . Slamet
adalah anak pertama dari enam bersaudara . lahir dalam lingkungan keluarga yang
miskin membuat Slamet belajar hidup prihatin sejak kecil. Ketika anak-anak
sebayanya asyik bermain, sepulang sekolah Slamet harus menjual minyak tanah
keliling desa. Minyak tersebut
diambilnya dari Walijah, seorang agen minyak di dusun Krikil.
Tahun 1973 Warno memasukan Slamet bersekolah di SDN 1 Gunung Agung. Slamet merupakan siswa
yang pintar dan terampil. Saat kelas empat, jika pak guru Ahmad tidak masuk, diapun dijadikan asisten guru untuk menulis di
papan tulis. Pak Ahmad adalah guru Slamet dari kelas empat sampai kelas enam.
‘’Slamet iku bocahe pinter, tulisane apik, kelas papat anjog
kelas enem kui slalu rangking loro, sayange wong tuane ora due, dadineng ya ari
sekolah apa anane, kadang pakaiane duwure putih celanane ireng, wis kaya kue
nyeker maning.'' Kenang pak Ahmad yang sekarang ini masih menjadi guru di SDN 1
Gunung Agung.
Sayangnya Slamet hanya bisa bersekolah sampai lulus SD saja.
Tahun 1982, Slamet memutuskan untuk hijrah ke Jakarta. Di Jakarta Slamet
membantu pamanya yang bernama Samsuri berdagang Sayur di Pasar Mingu. Slamet
tinggal dengan ‘Sam’ sapaan akrab Samsuri di sebuah kontrakan di Condet. Condet merupakan sebuah perkampungan yang ada
di pinggiran Jakarta timur. Warga desa gunung Agung yang datang ke Jakatra
kebanyakan berdagang di Pasar Minggu dan menetap di Condet.
Selain dijadikan tempat tinggal, kontrakan milik empok
Sarpiyah ini juga dijadikan warung klontong oleh Sam. Siang pukul 2.00, Slamet
harus belanja sayuran di Pasar Induk Kramat jati. Bersama ke tiga temannya yakni Torikin,
Jahidi, dan Soleh, Slamet harus
mendorong gerobak sejauh 4 km. sore harinya mereka sudah kembali ke kontrakan
dan mandi di kali ciliwung. Pada masa itu kali ciliwung masih terkenal bersih
dan bening airnya. Malam pukul 12.00, melewati jembatan gantung yang membentang
di atas kali ciliwung ,Slamet dan teman-temanya
pergi berdagang ke pasar minggu .
‘’dulu kali ciliwung tuh bening banget airnya, batu-batu
masih keliatan, kita pun bisa mandi ke tengah’’ tutur Bapak Slamet.
Senin 3 November 1984, hawa malam terasa begitu panas. acara
dunia dalam berita yang dibacakan pembaca berita seangkatan Anita rahman dan
Idrus di TVRI baru saja usai mengumandangkan jingle khas penutupnya
dilanjutkan acara Arena dan Juara, sebuah acara favorit meskipun
hanya berupa rekaman-rekaman pertandingan menarik di beberapa cabang olah raga.
Pukul 20.00 Slamet telah selesai membersihkan sayuran.
Dirinya dikagetkan oleh dentuman suara yang menyerupai sebuah peperangan.
Sesaat kemudian orang-orang berlarian, sambil berteriak, ‘’Gudang peluru
Cilandak meledak !!, Gudang peluru
Cilandak meledak !!!’’. Ya, saat itu
gudang amunisi milik TNI AD (masa Orde baru bernama ABRI) di Cilandak meledak
dengan dahsyatnya.
Peluru yang terbang diangkasa bertebaran ke segala penjuru
kota Jakarta, termasuk Condet. keadaan
begitu panik. Menganggap hari itu
seperti kiamat, Slamet dan warga disekitar pun berlindung di sebuah mushola. Ibu-ibu dan anak-anak banyak yang menangis, mereka pun tak
mengetahui bagaimana kondisi rumah mereka yang ditinggal.
Pikiran slamet betul-betul kacau, diapun teringat keluarga
di kampung. Bunyi ledakan terus terjadi hingga selasa siang. Tanggal 5, Slamet
memutuskan untuk mudik ke kampung halamanya. Diapun baru kembali ke Jakarta
pada tahun 1985.
Berbekal uang penjualan kambing, kali ini slamet membuka
usaha dagang sayur sendiri. sekarang dia tidak ikut bersama pamanya lagi, Dia
pun tinggal bersama kawan-kawanya di sebuah kontrakan kecil masih milik empok
Sarpiyah. ketika berusia 25 th Slamet
bertemu dengan Nur Aeni. Kedua insan ini setiap hari bertemu di pasar. benih
benih cinta pun tumbuh diantara mereka. Nur Aeni adalah gadis pertama yang
dicintai Slamet, dia masih berasal dari Desa Gunung Agung. Di Jakarta, ‘Eni’
sapaan akrab Nur Aini, tinggal bersama kakak perempuanya bernama Bunyanah yang juga berdagang sayur di
Pasar Minggu. Kedua insan ini pun memutuskan untuk menikah pada 13 Juni 1990.
Kamis petang, tanggal 1 Mei 1991, di Desa Gunung lahir lah putra pertama dari pasangan Slamet
dan Eni. Putra tersebut diberi nama Ahmad Khoerul Mizan. Pada awalnya Slamet
hanya memberi nama Mizan, namun Abd. Muin, ayah dari Eni menambahkan kata Ahmad
Khoerul di depannya. Menurut Slamet, dalam bahasa Arab Mizan artinya adalah timbangan. Slamet berharap kelak
anaknya bisa menjadi orang yang pandai menimbang perbuatan alias menjadi orang
yang bikasana. Sementara Mui n yang menambahkan kata Ahmad Khoerul mengatakan,
‘’Ahmad itu pada bae karo Muhamad, sunah yen due anak lanang diarani Muhamad
atau Ahmad neng arepe, Khoerul iku artine bagus mugi bae ki bocah dadi bocah
sing bagus awake lan ahlake,’’. Begitulah tutur Muin dua puluh tiga tahun yang lalu.
Empat bulan berselang Slamet membawa Mizan dan Eni kembali
ke Jakarta. Slamet dan keluarga kecilnya tinggal di sebuah kontrakan ukuran
satu kamar milik engkong Haji Mursalih di Condet. Lelaki tua asli betawi ini
terkenal galak, sebelum jatuh tempo, uang sewa kontrakan harus secepatnya di
bayar, jika tidak pengusiran lah yang
akan terjadi. Kala itu uang sewa kontrakan masih sekitar 25 ribu. Ditengah
sedikitnya hasil untung yang didapat, Slamet dan Eni tak pernah lelah berjualan sayur di pasar.
Pukul 21.00 Slamet pergi berbelanja di Pasar Induk, kali ini
dia sudah tidak harus capek mendorong gerobak lagi. Slamet dan rekan-rekannya
yang berjumlah lima orang cukup membayar
mobil pengangkut sayuran sebesar Rp 10.000. mobil tersebut pun mengangkut
sayuran milik Slamet dan rekan-rekannya menuju Pasar Minggu. pukul 1.00 dini hari Eni pun menyusul Slamet
untuk berdagang di Pasar Minggu. ini adalah sebuah kolaborasi yang cukup indah dalam sebuah keluarga. Sementara itu, Si kecil Mizan dititipkan ke empok Nining,
cucu Haji Mursalih.
Sabtu 5 Oktober 1991, bertepatan dengan hari ulang tahun
ABRI ke 46, Mizan bayi yang sedang terlelap tidur terbangun dan menangis sejadi
jadinya. Siang itu sebuah pesawat C-130 Hercules Skuadron 31 Angkatan Udara terempas
jatuh, dan terbakar habis, setelah menabrak gedung Balai Latihan Kerja (BLK) di
Condet, Jakarta Timur. Jarak antara BLK dan kontrakan yang ditempati Slamet
tidak lah amat jauh. Warga di sekitar Condet pun dikejutkan dengan bunyi
ledakan yang menggelegar dahsyatnya. Dengan seketika Slamet yang sedang mandi
di kali ciliwung pun kembali ke kontrakan memastikan kondisi Mizan dan ibunya.
Mengulang tujuh tahun silam, warga kembali dibuat panic.
Untungnya saja pesawat tersebut jatuh di rawa rawa. Terdapat 135 orang tewas. Korban
yang tewas adalah 133 orang prajurit TNI-AU, dan dua orang sipil yang tertimpa
reruntuhan burung besi itu. Hanya seorang prajurit yang selamat dan kemudiani
dirawat di RSPAD.
Hercules naas itu bertolak dari Pangkalan Udara Halim
Perdanakusuma, dengan tujuan Bandung, menyusul dua pesawat sejenis yang telah
tinggal landas lebih dahulu. Misinya mengantar pulang empat peleton Pasukan
Khas (Paskhas) dari Skuadron 461 dan 462 yang bermarkas di Margahayu, Bandung.
Selepas kejadian itu, dua hari berikutnya Warno dan Muin selaku kakek
Mizan langsung menuju ke Jakarta, mereka khawatir dengan kondisi Slamet dan
keluarganya.
Tahun 1995, Ketika berusia empat tahun Slamet
menyekolahkan Mizan di sebuah Taman Kanak-kanak (TK) bernama AL Arif yang letaknya tidak jauh dari kontrakan mereka.
di TK tersebut Mizan diajarkan beberapa pelajaran seperti menulis, menggambar,
menyanyi, mewarnai, hafalan do’a-do’a, dan hafalan surat pendek. Namun,
sayangnya Mizan tak satu pun berhasil menguawasai itu semua. Ketika buku tulis
Mizan diperiksa oleh ibu Enjeh dan ibu Iyo, kedua guru TK itu hanya mendapatkan
coret – coretan yang tak jelas.
Ada satu kelebihan yang dimiliki Mizan pada saat TK,
kelebihan itu adalah ia pandai mengumandangkan Adzan. Keahliannya adzan
didapatkan Mizan secara otodidak karena Slamet selalu mengajaknya ke Masjid
setiap Sholat Jum’at. Di kontrakan, Mizan coba meniru apa yang dikumandangkan muadzin
di Masjid. Ketika tetangga melihat aksinya mereka pun hanya tersenyum
menyaksikan tingkah si Mizan.
Melihat Mizan bisa Adzan. Ibu Enjeh selalu menyuruh dia
untuk adzan tatkala pelajaran praktek sholat berlangsung. Ibu Enjeh sangat
perhatian dengan Mizan, umurnya yang masih empat tahun membuat Ibu Enjeh bisa
memaklumi Mizan, jika ia tidak pandai dengan pelajaran yang diajarkannya. Suatu
ketika Ibu Enjeh mendaftarkan Mizan untuk ikut lomba Adzan di daerah pondok
Gede, hasilnya Mizan pun keluar sebagai juara ke 3. Dengan senang hati Ibu
Enjeh pun memberikan hadiah berupa ciki Cittos bergambar donald duck yang menjadi idola anak-anak pada masanya.
Slamet dan Eni begitu menyayangi Mizan, tak pernah
sekalipun mereka memarahi bocah cilik berambut lurus itu. Kadang kala ketika
mereka mempunyai tambahan uang, keduanya selalu membelikan Mizan mainan berupa
robot-robotan atau mobil -mobilan. Rengekan Mizan kecil ketika dia minta
dibelikan sate Ayam di malam hari pun selalu mereka turuti.
Di masa TK, Mizan lebih banyak menghabiskan waktu bermainya
dengan anak perempuan sebut saja Lina, Dian, dan Rahayu adalah nama temannya.
Siang hari seusai pulang sekolah Mizan dan ketiga temannya bemain ke rumah
Rahayu. Rahayu orangnya cantik dan baik, meskipun dia anak orang kaya namun,
dia tak pernah pilah - pilih dalam berteman.
Rumah Rahayu lumayan cukup bagus, keluarganya adalah orang berada, hal
yang terlihat kontras dengan kondisi keluarga Mizan yang bisa dikatakan serba kekurangan. Di sana
mereka main masak-masakan, boneka-bonekaan, dan ibu-ibuan.
Namun demikian, terkadang Mizan juga bermain dengan teman
laki-laki sebayanya , mereka adalah Irul, Jaka, Pian, Eka, dan Iwan. Mereka
biasa bermain di kebun milik ‘Haji Ali’ engkongnya si Irul dan Eka. Kalau
ketahuan mereka pun langsung dimarahin oleh pak Haji yang terkenal galak itu.
‘’eh tong lu pada bandel amat ya maen di kebon, entar ada uler baru nyahok lu
!!,’’ Ucapan Haji Ali ketika memarahi mereka.
12 Juni 1996, Mizan harus pulang keTegal, saat itu Eni harus melahirkan
anak keduanya. Kali ini Aen dianugrahi seorang bayi Prempuan dan diberi nama
Nur Ayu Amalia. Selama empat bulan Mizan menetap di sana. Mizan menjadi lebih
dekat dengan kakeknya ‘Muin’. Kemanapun Muin pergi Mizan selalu ikut
dibelakangnya.’’wis kaya buntut bae si Mizan (Udah kaya buntut saja si Mizan)’’ jelas Muin.
Muin amat menyayangi Mizan. selain sebagai cucu laki-laki pertamanya Muin
juga menganggap Mizan sebagai anaknya. Hasil pernikahannya dengan Halimah, Muin
tak satupun dikaruniai seorang putra. Empat orang anaknya berjenis kelain
prempuan, salah satunya adalah Eni ibunda Mizan. Pria berbadan tinggi dan
bersuara keras ini merupakan imam Masjid di Dusun sereang Desa Gunung Agung
kala itu. Mizan selalu diajaknya ketika dia sholat di masjid. Ketika Muin akan
pergi ke Sawah dan ke kebun Mizan pun selalu merengek untuk minta ikut. melihat
tingkah Mizan Mu’in pun menjadi tidak tega, dan lalu mengajaknya.
Kebersamaan Muin dan Mizan harus terpisah untuk sementara. Eni membawa kembali Mizan dan adiknya ke Jakarta. Kali ini Mizan tak mau lagi
masuk ke sekolah TK. Mizan mengetahui kalau teman-temannya seperti Dian dan
Rahayu yang memang lebih senior satu tahun darinya telah masuk ke SD. Mizan pun
harus berpisah dengan teman-temanya ketika Slamet mebawa keluarganya pindah kekontakan yang sdikit
agak besar di Gg Sawah, Batu Ampar. Jaraknya dengan lingkungan kontrakannya
yang lama hanya dipisahkan oleh Jalan Raya Condet.
Di tempatnya yang baru, Mizan memiliki teman yang baru.
Tiap malam hari dia selalu bermain dengan teman-temannya tersebut. Petak umpet,
petak jongkok, Uler Naga, nenek Grandong adalah permainan-permainan yang selalu
dimainkannya. Fami, Asep, dan Fajar merupakan segelintir dari banyaknya teman
Mizan kala itu. Terkadang ketika sore hari mereka bermain ke Lapangan bola ‘Latoq’ untuk menyaksikan orang dewasa
bermain bola.
Pada tahun 1997, krisis ekonomi serta kemarau panjang yang melanda Indonesia
berdampak pula terhadap perekonomian Slamet. Pendapatan dari hasil berdagang
sayurnya merosot tajam. Di Pasar Minggu
dia harus kejar-kejaran akibat pengusiran dari Kantib. Kebingungan melanda
Slamet, diapun harus hutang sana sini untuk menutupi modal. Slamet menjadi
bersifat temperament. Pernah ketika Mizan meminta uang dua ratus rupiah untuk
membeli ciki di warung, bukannya uang yang didapatkan tapi malah pukulan sapu
di punggungnya. Mizan pun hanya bisa menangis sejadi-jadinya.
Meskipun demikian, Slamet amat peduli dengan pendidikan
anaknya. satu bulan setelah Indonesia melaksanakan pemilu legislatif 1997, dia pun menyekolahkan Mizan ke MI Al – Amin Condet batu ampar, sebuah
sekolah berhaluan Islam yang setingkat dengan
SD.
Masuk kelas satu, Mizan pun mulai bisa menulis dan membaca. Ibu Rita adalah guru yang mengajar kelas satu. Mizan begitu mengidolakan Ibu Rita, meskipun begitu beliau terkenal tegas dan galak. Karena kegalakannya Mizan pernah tak berani meminta izin untuk buang air kecil ke kamar mandi. Akibatnya Mizan pun harus buang air kecil di celana. Kelas pun menjadi becek karena kencing Mizan. Dengan sedikit agak kesal bu guru cantik itu menyuruh Mizan untuk pulang ke rumahnya.
Tingkat kecerdasan Mizan bisa dikatakan hanya
sedang-sedang saja, tidak pintar juga tidak bodoh.
Pada akhir Catur Wulan 3
(sekarang disebut Smester II) prestasi Mizan cukup memuaskan dengan menempati
peringkat ke 6. Dia pun naik ke kelas dua. Hal yang membuat sedih adalah ketika
Ibu Rita memutuskan untuk keluar dari MI Al Amin, Mizan merasa kecewa karena
tidak akan lagi pernah melihat ibu guru idolanya itu.
Ketika terjadi huru hara Peristiwa 98, Mizan bersama warga di sekitar Condet dengan jelas menyaksikan bagaimana gumpalan asap hitam tebal
melambung di angkasa. Beberapa Pasar Swalayan di Pasar Minggu bermerek Robinson
dan Ramayana, dibakar habis oleh masa yang berunjuk rasa menuntut lengsernya
Presiden Soeharto. Penjarahan Pasar Swalayan dan Toko-toko milik etnis Tiong
hoa terjadi dimana-mana. Jamal, tetangga Mizan berhasil membawa pulang Tv 21
inc. sementara itu beberapa tetangga
yang lain ada yang membawa kompor gas, Radio, Vcd hingga kaset radio music lagu
anak-anak. Kejadian itu merupakan sejarah besar bagi Indonesia dimana terciptanya sebuah peralihan masa dari orde baru yang kelam menuju
Reformasi yang penuh dengan jutaan harapan.
Badai pasti berlalu, perekonomian Slamet pun mulai
membaik. kantib di pasar pun tidak lagi mengusirnya, karena Slamet kini menyewa sepetak tanah ukuran 2x2 m di halaman Pasar Djaya, pasar Minggu. Sementara itu, Eni mendapatkan
tawaran untuk pindah kekontrakan kakaknya yang bernama Bunyanah. Dasir suami
Bunyanah menjamin kalau Slamet tak perlu membayar uang seperpun setiap bulanya,
kecuali bayar tagihan listrik. Slamet dan keluarganya pun menyetujui untuk
pindah ke kontrakan yang terletak di Gg Astawana.
Gg Astawana adalah
sebuah gang yang lingkungannya ditutupi oleh rimbun pepohonan salak dan dukuh Condet.
Salak dan Dukuh Condet merupakan buah khas kota Jakarta. Keberadaannya kini
sudah langka karena perkebunan salak dan
dukuh di condet sudah berubah menjadi kawasan padat penduduk.
Namun sayangnya, iming-iming kontrakan gratis itu cuman pepesan kosong. Slamet harus membayar biaya sewa sebesar lima puluh ribu rupiah. Lebih parahnya lagi kontrkan yang berukuran 3 x 4 m itu harus menyambung dengan dapur dan kamar mandi dari rumahnya Bunyanah. Bangunan itu juga hanya beratap asbes. Bisa dibayangkan bagaimana pengap dan baunya kontrakan yang lebih pantas disebut gudang tersebut.
secara geografis lingkungan kontrakan yang mereka tinggali
sangat setrategis karena letaknya yang
dekat dengan Pasar minggu. Namun, tidak untuk Mizan, perjalanannya ke sekolah
dua kali lipat lebih jauh dibanding kontrakannya yang dulu. Setiap hari Mizan
harus berjalan kaki ke sekolah pukul 6.00 pagi bersama Asep dan Lis. Asep dan Lis
merupakan sepupu Mizan, mereka adalah anaknya Bunyanah.
Euphoria Piala Dunia Prancis 98 begitu menggema kala itu,
virusnya pun menjangkit warga Gg Astawana. meniru gaya pemain bola yang ditontonnya di Tv, layaknya Zidane, Batistuta, Suker, Ronaldo, Beckham, ataupun Roberto Baggio, Tiap sore Mizan bermain sepak bola
disebuah lapangan yang ditengah-tengahnya banyak pohon dukuhnya. Bakat bermain
bola Mizan mulai terlihat. kala itu, dia pandai diletakan sebagai penjaga gawang.
Teman-temannya seperti Ayung, Bian, Asep, dan Puji pun kerap memujinya karena aksinya menjaga gawang mirip dengan Kurniasandi, penjaga gawang nasional yang sedang beken di era tersebut.
Satu tahun mengontrak disana Slamet dan keluaranya tak
pernah merasakan kenyamanan. Udara yang pengap, bau yang tidak sedap, dan
terkadang selisih faham dengan keluarganya Bunyanah adalah suasana yang harus
dihadapi setiap hari. Juli 1999, Slamet
mengajak keluarganya berpindah kontrakan lagi. Kali ini dia kembali ke
lingkungan dimana Mizan TK pernah tinggal. Slamet tidak kembali menempati
kontrkan Engkong Mursali lagi, kini dia menempati kontrakan Milik Haji Ali
.
Mizan kembali bertemu dengan teman-teman lamanya seperti
Irul, Eka, Pian dan lain-lain. Mizan juga sempat bertemu dengan Rahayu, namun Rahayu
yang sekarang berbeda dengan yang dulu. Dia menjadi lebih tinggi dan cantik.
Rambutnya yang lurus dan panjang terurai seperti Meisyi, penyanyi cilik yang ngetop di Tv ERA 90-an.
keahlian Mizan dalam main bola makin kelihatan, ditahun 2001
bersama teman temannya dia sempat membuat klub dengan nama Northern United F.C.
Namun, klub itu harus bubar dikarenakan kostum sepak bola yang mereka ingin buat tidak
pernah terlaksana. Mizan sempat
menerangkan keinginannya menjadi pemain sepak
bola ke Slamet, namun Slamet dengan tegas menolaknya.
‘’kalo kamu jadi pemain bola, yang ada kamu gak bakal
pernah sholat. Liat aja pemain bola waktunya sholat malah main bola, udah nanti
kamu bapak masukan ke pesantren aja’’ jelas Slamet kala itu.
Mizan pun meneteskan air mata dikarenakan keinginannya menjadi pemain sepak bola hanya menjadi impian belaka.
Mizan pun meneteskan air mata dikarenakan keinginannya menjadi pemain sepak bola hanya menjadi impian belaka.
Kedua orang tua benar benar tidak mendukung Mizan dalam
hal sepak bola. Slamet dan Eni juga melarang Mizan menonton pertandingan liga
sepak bola Eropa kalau tengah malam, alasannya
adalah takut nanti dia mengantuk di sekolah. Pada usia 9 tahun Mizan sering nonton
pertandingan sepak bola di tv. Tim yang dijagokannya adalah Juventus. Dia amat
mengidolakan pemain Juventus yang bernama
Filipo Inzaghi. ketika Inzaghi pindah ke klub AC. Milan, Mizan pun jadi berubah
mengidolakan klub AC. Milan. Menurutnya Inzaghi adalah pemain sepak bola yang
paling jago ngegolin. hingga kini, AC. Milan tetap menjadi tim idolanya, mungkin jika tuhan mengizinkan sampai kiamat pun dia akan tetap jadi fans dari klub yang berjuluk 'Irrosoneri' tersebut. FORZA MILAN !!!
Slamet sering menyembunyikan Antena Tv agar Mizan tidak
bisa menonton bola di tengah malam. Tidak kehasbisan akal, Mizan pun
menggunakan garpu sebagai antenna Tv. Dengan begitu dia pun begitu menikmati
pertandingan yang sedang berlangsung di
tv.
Suatu ketika, disekolah Mizan pernah membeli poster
bergambarkan pemain bola, karena ketahuan oleh gurunya yang bernama pak Taufik,
poster itupun disitanya. Sedih bercampur kecewa itulah yang dirasakan Mizan.
Namun, kekecewaanya sedikit terobati karena sepulang sekolah, tidak
disangka-sangka Eni telah membelikannya kaos bola bertuliskan Inzaghi. Dengan
semangat kaos itu pun langsung dia pakai untuk bermain bola bersama
teman-temannya.
Pada waktu kelas 4, prestasi Mizan disekolah merosot
tajam. Kali ini dia menempati rangking 16, hal yang jauh dari kepribadian
seorang Mizan, karena dia biasa menempati rangking 6. Rangking 6 adalah
prestasi terbaiknya, hal tersebut sudah cukup lumayan mengingat dari rangking
1-5 selalu diduki oleh perempuan yang boleh dikatakan jenius semua. Jadi, bisa diaktakan Mizan
adalah anak laki-laki terpandai dikelasnya.
Merosotnya rangking Mizan membuat Slamet geram. Mizan pun
tak henti-hentinya diberikan ceramah oleh Slamet, puncaknya adalah mebelah bola
plastikyang selalu mizan mainkan dengan teman-temannya.
‘’kamu ini kerjaannya main bola mulu, udah bapak bilangin
belajar kalau malem, yang dipentingin malah main !!!’’ bentak Slamet. Mizan pun hanya bisa tertunduk mendengar perkataan bapaknya.
Ketika bulan puasa tiba, bermain petasan adalah permainan
favorit Mizan dan teman-temannya. Setiap subuh mereka sudah memulai aksi bakar
petasan. Terkadang mereka berperang melawan anak kampong sebelah. Pukul 8.00
mereka kemudian pergi ke rumah Mpok Mamah di Gg H.Yahya. Di sana mereka mengambil kue putu
mayang dan kue lapis untuk di jual keliling kampong. Memang sudah menjadi
kebiasaan bagi anak-anak di condet ketika bulan puasa mereka rami-ramai
berjualan kue keliling kampung. Hasil dari penjualan kue biasanya mereka dapat
upah tiga sampai Lima ribu rupiah.
‘’puasa-puasa udah panas lagi, kita jualan kue lupis sama
kue putu mayang, kue asli betawi tuh. kalau kaga abis kuenya kita jual sama
keluarga di rumah, sisa dagangan yang gak abis kita makan di kober (kuburan) hehehe’’ celetuk Mizan sambil
tertawa.
Seusai jualan, pukul 15.00 Mizan dan teman-temannya lalu
mandi ke kali ciliwung. Kali ini kali ciliwung tidak sejernih dahulu, airnya
butek, bau, dan banyak sampah. Namun, semua itu tidak menyurutkan semangat
anak-anak untuk ‘ngobak’ atau berenang di kali tersebut, terkadang tidak
sengaja air kali terminum. ‘’lagi ngobak, air kalinya keminum, kaga sengaja kan
minumnya, jadi puasanya kaga batal, haha’’ tambah pemuda yang berkulit sawo matang
tersebut.
Memasuki kelas 5 di tahun 2001, MT teman
sekelasnya adalah anak perempuan yang dikagumi
Mizan. Diam-diam Mizan naksir dengannya. Perasaannya terhadap MT pun terus ia pendam hingga lulus SD. Satu kekurangan Mizan adalah dia memiliki sifat pemalu terhadap
perempuan, sesuatu yang begitu kontras dengan sifatnya pada waktu TK dulu.
Di tahun 2003, Mizan melanjutkan sekolahnya ke Mts Negeri
6 Condet Batu Ampar. Mizan begitu senang karena banyak teman-teman MI nya yang
melanjutkan sekolah disini. Di kelas satu Mts, Mizan memiliki
teman yang bernama KC. KC mampu mengalihkan perasaannya dari MT.
Penyakit malu mendekati perempuan memang sudah akut tertanam dalam diri Mizan.
Meskipun setiap hari keduanya bertemu, namun tak satu pun dari kata ‘Aku Cinta Kamu KC’ yang keluar
dari mulut Mizan.
Satu guru yang paling di takutkan Mizan adalah Pak Darman.
Perawakannya bertubuh sedang, meskipun masih berumur 40-an tahun namun
rambutnya sudah berwarna putih. Pak Darman adalah guru Fisika, dia tak segan
segan membentak siswa jika siswa tersebut melakukan kesalahan.
Prestasi Mizan di kelas ini bisa dikatakan sedang sedang saja, adakalanya dia masuk sepuluh besar adakalanya tidak. di kelas satu, dari dua semester Mizan tak sekalipun masuk dalam sepuluh besar. namun di kelas dua dan tiga dia sempat juga bertengger di sepuluh besar. hal ini cukup wajar Mts N 6 adalah sekolah negeri tentu persaingannya lebih ketat ketimbang dulu waktu di SD yang swasta.
Mizan juga kerap diandalkan teman-temannya sebagai pemain andalan ketika kelas mereka bertanding sepak bola dengan kelas lain di Mts N 6. lagi lagi sepak bola seperti sudah menjadi bagian dalam hidup Mizan. di mana ada Mizan di situ ada sepak bola.
Mizan juga kerap diandalkan teman-temannya sebagai pemain andalan ketika kelas mereka bertanding sepak bola dengan kelas lain di Mts N 6. lagi lagi sepak bola seperti sudah menjadi bagian dalam hidup Mizan. di mana ada Mizan di situ ada sepak bola.
Tahun 2004, Slamet membeli sebidang kebun Salak dan dukuh
di Gg. Astawana. Pohon-pohon salak dan dukuh itu kemudian ditebang, karena
Slamet memiliki niatan membangun rumah di tempat itu. Bulan Juni 2004 rumah
tersebut akhirnya jadi. Slamet dan keluarganya kembali lagi ke Gg Astawana,
namun kali ini mereka tidak mengontrak lagi dengan Bunyanah, impian Slamet
untuk memiliki rumah sendiri akhirnya tercapai.
Mizan semakin senang, di belakang rumah mereka terdapat
lapangan sepak bola, setiap sore anak-anak Astawana selalu main bola. Sepak
bola di daerah tersebut merupakan sebuah hiburan rakyat yang tiada duanya.
Mizan bersama teman-temanya dengan klub bernama 'Harapan Muda' (Harmud FC) sering mengikuti tournament sepak bola
antar kampong, hasilnya mereka pernah dua kali
menjadi juara yakni, satu kali di Turnamen yang diadakan di Pasar Minggu dan satu lagi di belakang SMP 35 Condet.
Pada kelas dua Mts Mizan harus berpisah kelas dengan KC. Teman-teman di kelas ini terbilang lebih assik sebut saja ada Arif,
Solihin, Riki dan masih banyak yang lainnya. Arif lebih terkenal dengan nama samarannya yakni Piyonk. Karena rumah Piyonk dan Mizan tidak
terlalu jauh setiap hari mereka selalu bareng berangkat ke sekolah. Kebiasan rutin
mereka adalah menunggu angkot O7 setiap pagi untuk menuju sekolahan mereka.
mereka selalu stay di depan ibu gemuk penjajal koran. dalam menunggu angkot biasanya mereka membaca-baca Koran terutama ‘Bola, Go dan Top Skor’ dan terkadang sambil
bercerita tentang pertandingan sepak bola yang terjadi tadi malam.
Memasuki kelas tiga, Mizan kembali bersama dengan Piyonk dan
Solihin dalam satu kelas. Dimata Mizan, Piyonk adalah anak yang kocak, ucapannya
selalu membuat teman-teman tak berhenti tertawa. ‘’Piyonk tuh bocak yang kocak,
persis kaya pelawak, kalau dia ngomong pasti orang yang di sekelilingnya tertawa
‘’, ungkap Mizan menjelaskan sosok Piyonk alias Arif.
Dikelas tiga ini
bersama teman-temannya, Mizan berhasil merajai sepak bola kawasan Mts 6. Hampir disetiap
ngadu bola dengan kelas-kelasa lainnya, mereka selalu memenangkan pertandingan
dan memperoleh uang taruhan. Uang taruhan tersebut mereka kumpulkan dan hasilnya pada
akhir tahun mereka memperoleh uang sebanyak Rp 200. 000. Mendapat uang sebanyak
itu mereka pun kemudian mengadakan pesta di Rumah iswandi salah satu rekan
sejawat mereka. hidangan beraneka macam pun terpampang di meja ada Seprit, Coca-cola, serta
snack. Dari pagi hingga sore mereka berada di sana, dan adzan magrib pun
mengantarkan mereka pulang ke rumah masing -
masing.
Tahun 2006, Mizan lulus dari Mts 6. Slamet merealisasikan
janjinya empat tahun silam, yakni memasukan Mizan ke sebuah pondok pesantren. Pondok
Pesantren Al-Hikmah Benda di Bumi Ayu, Brebes-Jawa tengah adalah pilihan Slamet
untuk melanjutkan pendidikan Mizan. Pada awal-awal mondok, Hampa adalah perasaan yang slalu timbul dalam diri Mizan. Dia slalu
merindukan keluarga dan teman-temannya yang nan jauh di Condet-Jakarta. Dia
harus nyuci baju sendiri, makan dengan makanan yang tak selezat di rumah, dan
bangun pada pukul 04.00 pagi.
Sedikit demi sedikit Mizan pun akhirnya dapat beradaptasi
dengan kehidupan di pondok pesantren. Dia menempati kamar bernama Nurul Hikmah,
sebuah kamar yang diperuntukan untuk anak-anak dari Tegal. Di pondok asuhan K.
H. Labib Shodiq Suhaimi ini Mizan memiliki teman dari berbagai daerah di Pulau
Jawa dan Sumatera, ada yang berasal dari Brebes, Banyu Mas, Pemalang, Cirebon,
Jakarta, Bandung hingga Bandar lampung. Keaneka ragaman seperti itu lah yang
pada akhirnya membuat Mizan betah tinggal di Pondok Pesantren.
Mizan bersama para
santri biasanya memulai aktifitas pukul 4.00 pagi. Di jam segitu mereka mulai mengantri
untuk mandi dan bersiap-siap untuk
melaksanakan sholat subuh berjamaah. Setelah itu, mereka mengaji qur’an di
dalam kelas dan kemudian dilanjutkan mengaji kitab kuning yang diampu oleh ‘Abah
Labib’ begitulah sapaan akrab dari K.H. Labib Shodiq Suhaimi, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikmah 1. Kia ini amat dihormati oleh Mizan, dia selalu berdo'a semoga Tuhan selalu memberikan kesehatan buat sang kiai karena ilmu dan tauladannya amat begitu diharapakan oleh santri dan umat. Amiin.
Pukul 7.00 Mizan berangkat ke sekolahnya, dari sekian
banyak institusi pendidikan di Al-Hikmah, dia memilih untuk bersekolah Madrasah
Aliyah. Sekolahnya kali ini tak seramai seperti ketika Mts dulu, muridnya
sangat sedikit sekali, jika di total mungkin satu sekolahan hanya ada 150-an
siswa-siswi. Jika di Mts dulu setiap jam istirahat Mizan selalu bermain sepak
bola dengan teman-temannya, kali ini dia hanya ngobrol dengan beberapa temannya
di dalam kelas.
Sepulang sekolah biasanya Mizan pergi makan ke rumah ibu
kos. Di pondok Al-Hikmah untuk hal makan
para santri tidak lah masak sendiri melainkan mereka kos makan dengan warga
Desa Benda. Kegiatan pesantren baru dimulai lagi selaepas ba’da Ashar. Para
santri melaksanakan kegiatannya untuk belajar di Madrasah Diniyah (Madin) di
dalam kelas. Kitab kuning adalah pelajaran yang selalu diajarkan di Madin tersebut.
Gudik dan bisul adalah penyakit yang kerap menghigapi para
santri, tak terkecuali Mizan. selama tiga bulan Mizan begitu tersiksa dengan
penyakit itu, hingga menyebabkan muculnya pemikiran dalam dirinya untuk keluar
dari pesantren tersebut. Akan tetapi teman-temannya sebut lah Ipunk, Wiro,
Rizal, Asep, dan Sulaiman selalu menyemangati dirinya sehingga dia pun
mengurungkan niatnya untuk keluar dari pesantren.
Hal yang paling dibenci Mizan dari Pesantren adalah ketika
barang-barang atau uang yang dimilikinya
hilang. Untuk barang-barang seperti ember atau pun sandal masihlah dimaklumi,
tapi kalau untuk uang sudah lah terlewat batas.
Menurut Mizan, meskipun pada awalnya kurang disukai,
namun di pesantren dalah periode yang paling
indah. Di sana dia mendapatkan banyak Ilmu agama, di sana juga ia belajar arti dari sebuah kehidupan hingga rasa kekeluargaan yang begitu erat, satu hal yang
tak pernah dia rasakan dahulu. Mizan begitu amat berterima kasih kepada kedua orang tuanya, Slamet dan Eni. ia yakin mereka tak pernah salah dalam menuntun dirinya tuk mengarungi masa depan kelak.
Setelah lulus dari Pesantren, Mizan pun memutuskan untuk kembali ke Condet dan melanjutkan studynya di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Baginya Condet adalah bagian dari hidupnya, dia pun pernah berujar ‘’kemanapun gue pergi pada akhirnya gue akan balik lagi ke Condet, karena dari tempat inilah gue ingin mewujudkan semua cita-cita gue''. tutup Mizan sambil merapikan peci putih yang ada dikepalanya
Setelah lulus dari Pesantren, Mizan pun memutuskan untuk kembali ke Condet dan melanjutkan studynya di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Baginya Condet adalah bagian dari hidupnya, dia pun pernah berujar ‘’kemanapun gue pergi pada akhirnya gue akan balik lagi ke Condet, karena dari tempat inilah gue ingin mewujudkan semua cita-cita gue''. tutup Mizan sambil merapikan peci putih yang ada dikepalanya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar